Selasa 30 Jul 2024 08:27 WIB

India Tolak Usulan Pajak Karbon Uni Eropa

Uni Eropa merupakan tujuan ekspor terbesar kedua India.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Emisi karbon (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Emisi karbon (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- India menolak menerima proposal Uni Eropa untuk menaikkan pajak industri yang menghasilkan karbon. Delegasi Uni Eropa yang dipimpin Direktur Jenderal Pajak dan Bea Cukai Komisi Eropa Gerassimos Thomas mengusulkan mekanisme penyesuaian perbatasan karbon (CBAM) dalam pertemuan dengan pemerintah India.

"Usulan mereka tidak praktis, tim mereka datang dan bertemu kami, solusi yang mereka tawarkan tidak berhasil di ekonomi berkembang seperti India," kata Sekretaris Urusan Ekonomi India Ajay Seth, Senin (29/7/2024).

Seth mengatakan New Delhi menyampaikan sikapnya kepada delegasi Uni Eropa. Ia mengatakan usulan CBAM tidak adil dan merugikan ongkos produksi pasar domestik.

Tahun lalu, Uni Eropa menyetujui rencana pertama di dunia untuk memberlakukan tarif pada impor barang-barang berkarbon tinggi, termasuk baja, aluminium dan semen demi mencapai emisi rumah kaca nol pada tahun 2050. Blok 27 negara anggota itu mengatakan mereka bersedia membeli kredit karbon bila produk-produknya yang tinggi karbon masuk perbatasan India.

Usai kunjungan delegasi pada awal bulan ini, ni Eropa mengatakan negosiasi dengan India berlanjut pada tingkat teknis. Para pejabat Uni Eropa sedang berusaha untuk memenangkan hati negara-negara seperti Cina, Afrika Selatan dan India yang menentang CBAM.

Delegasi Komisi Eropa mengatakan kepada India tujuan utama dari pajak karbon ini bukanlah untuk meningkatkan pendapatan, melainkan untuk memastikan pasokan barang-barang yang lebih ramah lingkungan ke pasar Uni Eropa.

Delegasi Uni Eropa menyarankan agar India dapat menerapkan pajak karbonnya sendiri untuk mendanai kemajuan-kemajuan dalam rantai pasokan dan mengurangi emisi karbon, sambil mempertahankan pangsa pasar Uni Eropa. Seth mengatakan upaya penghijauan industri baja akan menaikan ongkos produksi.

"Dengan tingkat pendapatan yang hanya seperduapuluh dari tingkat pendapatan di Eropa, apakah kami dapat membayar harga yang lebih tinggi? Tidak, kami tidak bisa,” katanya.

Dengan asumsi India tidak akan memberlakukan pajak pada produk karbon tinggi dan memberi insentif pada industri yang beralih ke metode yang lebih rendah karbon, Uni Eropa mulai 1 Januari 2026 akan memungut pajak karbon untuk setiap pengiriman baja dan aluminium.

Menurut pelaku industri, langkah ini berpotensi membebankan tarif antara 20 hingga 35 persen. Para analis memperingatkan kebuntuan mengenai emisi karbon dapat membebani perdagangan bilateral dan mempengaruhi diskusi mengenai perjanjian perdagangan bebas (FTA).

“Karena India sedang merundingkan FTA dengan Uni Eropa, India harus siap dengan skenario produk-produk India akan menarik pajak CBAM yang tinggi sebesar 20-35 persen di Uni Eropa dan produk-produk mereka akan masuk ke India dengan bebas bea,” kata pendiri lembaga think-tank Global Trade Research Initiative (GTRI) Ajay Srivastava.

Uni Eropa merupakan tujuan ekspor terbesar kedua India dengan total ekspor hampir 100 miliar dolar AS pada tahun 2023. Seth mengatakan India ingin agar Uni Eropa mematuhi peraturan emisi karbon yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris 2015, yang memungkinkan negara-negara berkembang seperti India untuk memiliki target pengurangan emisi yang lebih fleksibel dibandingkan dengan negara-negara maju.

Lembaga think-tank Ember mencatat, India dengan intensitas karbon 632 gram per KWh pada tahun 2022 sedang mengembangkan kapasitas energi terbarukan. Ember juga melaporkan sejak tahun 2018 India telah mengurangi intensitas karbonnya sebesar 3,5 persen. Tujuannya adalah untuk mencapai nol bersih pada tahun 2070.

“Saat ini kami memiliki sekitar 170 atau 180 gigawatt energi terbarukan, tetapi itu tidak tersedia pada malam hari,” kata Seth.

Ia mencatat tantangan dalam memproduksi produk ekspor yang lebih ramah lingkungan semata-mata untuk pasar Uni Eropa. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement