Kamis 08 Aug 2024 14:25 WIB

Gletser Pegunungan Andes Mencair, Kekeringan Melanda

Wilayah Andes mengalami kekeringan dan kelangkaan air parah.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Deretan pemukiman berdinding seng di ketinggian kota La Rinconada, Pegunungan Andes, Peru.
Foto: Nacho Doce/Reuters
Deretan pemukiman berdinding seng di ketinggian kota La Rinconada, Pegunungan Andes, Peru.

REPUBLIKA.CO.ID, ANDES -- Sekitar satu dari setiap empat orang di bumi bergantung pada air tawar yang dipasok dari wilayah glasial yang menutupi 10 persen permukaan planet itu. Peneliti mengatakan gletser yang merupakan sumber daya berharga bagi manusia sedang mengalami krisis.

Dikutip dari Science Alert, Rabu (7/8/2024), penelitian baru menunjukkan cepatnya ekosistem beku ini akan berubah. Penelitian yang dilakukan tim ilmuwan internasional mengungkapkan gletser di daerah tropis mencair lebih cepat dari yang diperkirakan, menyusut hingga mencapai ukuran yang tidak pernah diperkirakan para peneliti sebelumnya.

"Sejujurnya, ini mengejutkan kami," kata pakar paleoklimatologi dari University of California, Berkeley, Andrew Gorin kepada New Scientist.

"Saya pikir ini adalah bukti nyata kini setidaknya satu wilayah di dunia sudah tidak lagi dalam kondisi iklim yang ramah yang mendorong perkembangan peradaban manusia," tambahnya.

Ia mengatakan saat ini manusia melewati tonggak sejarah iklim yang sebelumnya diperkirakan terjadi puluhan tahun lagi. Tim Gorin menemukan kurangnya isotop berilium-10 dan karbon-14 dalam mineral yang berbatasan dengan gletser di Pegunungan Andes, Amerika Selatan. Hal ini menunjukkan bagian dari pegunungan tersebut belum pernah mengalami glasiasi serendah ini sejak sebelum masa Holosen, yaitu periode yang melahirkan peradaban manusia.

Gletser mengumpulkan air dalam bentuk salju selama musim dingin dan melepaskannya saat mencair selama musim panas, menyediakan air untuk miliaran orang. Ketika gletser menyusut, air tawar yang tersedia di bawahnya pun berkurang.

Sebagai akibatnya, wilayah Andes mengalami kekeringan dan kelangkaan air parah. Wilayah itu juga mengalami banjir mematikan akibat mencairnya kolam es yang menahan air.

Hal ini tidak hanya terjadi di Andes. Penelitian sebelumnya juga menemukan gletser di Himalaya sampai Alaska juga mencair dalam kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

"Gletser sangat sensitif pada sistem iklim tempat mereka berada," kata geosainstis University of Wisconsin-Madison, Shaun Marcott.

Marcott mengatakan gletser tempat yang paling tepat untuk melihat perubahan yang diakibatkan pemanasan global.

Tahun lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan berkurangnya air tawar akibat menyusutnya gletser dan masuknya air asin karena kenaikan permukaan laut membuat debit air sungai-sungai besar seperti Magdalena dan Gangga turun. Guterres mengatakan hal ini dapat memaksa seluruh populasi berimigrasi untuk mencari air.

"Di Asia, contohnya, 10 sungai besar berasal dari wilayah Himalaya, memasok air untuk 1,3 miliar orang yang hidup di pinggir aliran sungai," kata Guterres.

Penelitian terbaru dari kelompok peneliti yang berbeda juga menemukan betapa drastisnya perubahan lingkungan lokal tanpa lapisan es. Tim peneliti yang dipimpin glasiolog Monash University Levan Tielidze menganalisis karakteristik sifat tanah, iklim mikro, keanekaragaman yang diwakili DNA lingkungan.

Mereka menemukan ketika es mencair, kehidupan baru dengan cepat masuk menggantikan yang lama. Konsekuensi hilangnya spesies lama dan keberadaan spesies lama masih belum diketahui.

Para ilmuwan mengatakan dengan menghangatnya permukaan bumi pola ini tidak hanya terjadi di daerah tropis tapi sudah menyebar ke seluruh dunia. Karena perlu dipelajari dampak perubahan lingkungan terhadap ekosistem sekitarnya.

"Di seluruh dunia, dari Pegunungan Alpen hingga Kutub Utara, gletser menyusut, menyisakan area yang semakin luas yang terekspos baik di daerah pegunungan maupun di sekitar lapisan es kutub, menyusutnya gletser adalah salah satu tanda perubahan iklim yang paling nyata," kata Tielidze.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement