REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya Pemprov DKI Jakarta melakukan kajian pembangunan Pulau Sampah masih mengambang. Keinginan tersebut belum mendapat respons dari DPRD DKI Jakarta.
Pengamat energi Ali Ahmudi Achyak menyarankan Pemprov DKI lebih baik fokus meneruskan proses pembangunan fasilitas Pengolahan sampah dengan konsep WTE (waste to energy) di Sunter, Jakarta Utara. Fasilitas yang didukung teknologi ramah lingkungan Intermediate Treatment Facility (ITF) itu dinilai akan lebih menguntungkan Pemprov.
Ali yang juga Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), menilai mengaktifkan ITF Sunter lebih menguntungkan dari sisi keuangan. Setidaknya daripada terus mempertahankan kerjasama dengan Kota Bekasi untuk pembuangan dan pengolahan sampah di Bantargebang, Kota Bekasi. “Uang yang dihabiskan untuk menjalankan kerjasama itu jumlahnya sangat besar,” kata Ali, dalam keterangannya, Jumat (30/8/2024).
Ali mengutip data penelitian dari berbagai sumber, jika Pemprov tetap melaksanakan Kerjasama pembuangan sampah di Bantar Gebang ada biaya setidaknya Rp 500 miliar per tahun yang harus dikeluarkan. Selain itu biaya pengangkutan sampah dan operasionalnya Rp 2,9 triliun per tahun. Sehingga total biaya yang dikeluarkan mencapai Rp 3,4 triliun per tahun.
Sedangkan jika ITF Sunter diaktifkan, setiap tahun, Pemprov melalui BUMD yang ditunjuk akan menerima keuntungan bersih sekitar Rp 884 miliar per tahun. Keuntungan ini berasal dari penghematan Rp 534 miliar per tahun. Lalu masih ada pendapatan perusahaan BUMD yang terlibat sebagai pengelola dan operator ITF Sunter sebesar Rp 350 miliar pertahun, dengan asumsi kepemilikan saham di ITF Sunter sebesar 35 persen.
Keuntungan per tahun sebesar Rp 884 miliar belum termasuk keuntungan memiliki fasilitas pengolahan sampah dan teknologinya setelah kerjasama berakhir di tahun ke-25. Di tahun ke-26 dan setelahnya, fasilitas ITF dan teknologi yang nilainya diperkirakan sekitar Rp 6 triliun menjadi milik Pemprov sepenuhnya. Sehingga total keuntungan Pemprov setiap tahun selama 25 tahun dan kepemilikannya atas fasilitas ITF tersebut, mencapai Rp 27,1 triliun.
Jumlah itu belum termasuk penghasilan dari perdagangan karbon, karena ITF Sunter merupakan proyek pembangunan berkelanjutan sehingga dapat menerima insentif (carbon credit) karena telah mengurangi gas rumah kaca. Berbeda dengan pengolahan sampah dengan metode Refuse Derived Fuel (RDF) yang dikenakan pajak karbon (carbon tax).
Menurut Ali, alasan Pj Gubernur Heru Budi biaya investasi pembangunan ITF Sunter dan biaya pengolahan sampah atau tipping fee terlalu besar tidak berdasar. Heru Budi sudah pernah mengungkap biaya dan investasi yang besar menjadi alasan proyek ITF Sunter dihentikan.
"Sebenarnya dari sisi keuangan ITF Sunter menguntungkan Pemprov DKI, biaya investasi dan tipping fee-nya masih wajar, daripada terus mengeluarkan dana Rp 3,4 triliun setiap tahun namun masalah sampah di Jakarta tidak terselesaikan dengan baik, timbulan sampah masih tinggi," kata Ali.
Kapasitas pengolahan sampah ITF Sunter sebesar 2.200 ton per hari atau 28,21 persen dari total kapasitas sampah Jakarta sebesar 7.800 ton per hari. Pengolahan sampah di ITF Sunter secara otomatis mengurangi sampah yang harus dibuang ke Bantargebang, Kota Bekasi.
Artinya, dengan produksi ITF Sunter, Pemprov DKI bisa menghemat pengeluaran sebesar 28,21 persen atau sebesar Rp 959 miliar per tahun, dari total pengeluaran rutin sebesar Rp 3,4 triliun per tahun.
Penghematan sebesar Rp 959 miliar per tahun itu kemudian menjadi modal bagi Pemprov untuk mengeluarkan biaya pengolahan sampah atau tipping fee ke ITF Sunter sebesar Rp 585 ribu per ton atau sekitar Rp 425 miliar per tahun. Sehingga total penghematan dari beroperasinya ITF Sunter berkurang, dari Rp 959 miliar menjadi Rp 534 miliar per tahun.
Secara operasional, ITF Sunter akan menerima penghasilan dari tipping fee sebesar Rp 425 miliar per tahun dan dari hasil penjualan listrik ke PLN. Penerimaan ini dengan asumsi kapasitas pengolahan sampah di ITF Sunter sebesar 2.200 ton per hari dan kapasitas produksi listriknya 35 MW per jam.