REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Negara-negara berkembang membutuhkan triliunan dolar AS untuk transisi energi bersih dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Namun, negara-negara kaya belum sepakat bagaimana mengumpulkan dana untuk membantu negara-negara dengan pendapatan lebih rendah.
Diharapkan pemerintah-pemerintah dunia sudah berhasil mengatasi masalah ini di Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) yang akan digelar di Baku, Azerbaijan pada November mendatang.
Negara-negara kaya seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang paling bertanggung jawab atas pemanasan global. Mereka wajib membayar dan menghadapi tekanan untuk memenuhi komitmen 100 miliar dolar AS per tahun.
Namun, mereka mengaku tidak bisa memenuhi komitmen itu dan membutuhkan bantuan pihak lain untuk mencapai target pendanaan iklim global yang akan disepakati saat hampir 200 negara berkumpul di Baku bulan depan.
"Bukan tugas saya untuk menilai tujuan baru akan seperti apa," kata Sekretaris Eksekutif Badan Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) Simon Stiell seperti dikutip dari France 24, Kamis (17/10/2024).
UNFCCC merupakan penyelenggara negosiasi di COP, tapi tidak mempengaruhi keputusan. "Tapi yang jelas pendanaan publik harus menjadi intinya, sebanyak mungkin pendanaan yang dibutuhkan, baik menjadi hibah atau konsesi, dan harus lebih mudah diakses bagi yang paling membutuhkan," tambah Stiell.
Negara-negara berkembang yang merupakan sebagian besar negara di dunia dalam kategori UNFCCC, mulai dari pasar berkembang kuat seperti Cina sampai negara-negara kepulauan kecil mengatakan, negara-negara yang paling banyak menghasilkan polusi sepanjang sejarah memiliki kewajiban moral untuk merogoh kantong mereka untuk mengatasi perubahan iklim.
Di bawah Perjanjian Paris 2015, mereka juga terikat secara hukum untuk memimpin langkah memberikan bantuan dan memobilisasi dana iklim. Namun, sejumlah pendonor dalam tekanan ekonomi dan politik. Mereka menolak mengalokasikan banyak dana iklim di anggaran baru mereka.
Negara-negara kaya seperti AS dan Eropa ingin investasi swasta, Cina dan negara-negara Arab Teluk dan pasar berkembang lainnya turut berkontribusi pada pendanaan iklim. Stiell mengatakan siapa yang berkontribusi dan berapa banyak dapat disepakati di COP29. "Namun kami tidak akan, kami tidak akan menegosiasi ulang Perjanjian Paris," katanya.
Pada Senin (14/10/2024), Azerbaijan mengatakan negara-negara berkembang membutuhkan triliunan dolar AS untuk pendanaan iklim. Tapi target mengumpulkan ratusan miliar dolar dari dana publik lebih "realistis."
Azerbaijan memperkirakan lebih dari 100 kepala negara dan pemerintahan akan menghadiri pertemuan puncak selama dua pekan Baku, yang akan dimulai pada 11 November.