Rabu 23 Oct 2024 07:43 WIB

PR Besar Menanti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan

Target nol deforestasi belum tercapai.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Foto kawasan hutan yang rusak akibat pembukaan lahan di perbukitan Sungai Pisang, Bungus, Padang, Sumatera Barat.
Foto: ANTARA FOTO
Foto kawasan hutan yang rusak akibat pembukaan lahan di perbukitan Sungai Pisang, Bungus, Padang, Sumatera Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan yang  kini dipisah di kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, memiliki pekerjaan rumah (PR) yang besar. Tantangan yang dihadapi tersebut mulai dari polusi udara hingga deforestasi.

Pengamat lingkungan Hikmat Soeriatanuwijaya menilai, ada beberapa pekerjaan rumah yang masih menantang Kementerian Kehutanan, terutama terkait target nol deforestasi yang belum tercapai. Dalam beberapa tahun terakhir ini tingkat deforestasi di Indonesia menurun. Tetapi pekerjaan belum selesai, karena di mana-mana masih saja terjadi pembukaan lahan dan penebangan hutan, utamanya untuk industri seperti sawit dan lain-lain. “Kementerian kehutanan harus mampu menegakan kebijakan nol deforestasi, dan 'menerapkan dengan tegas' praktik industri yang berkelanjutan untuk industri khususnya sawit dan kayu," katanya, Selasa (22/10/2024).

Hikmat juga menyinggung pentingnya perlindungan dan restorasi lahan gambut untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 29 persen sesuai Nationally Determined Contributions (NDC). Meskipun pemerintah telah menetapkan target restorasi dua juta hektare lahan gambut pada 2030, namun upaya ini masih jauh dari harapan. Riset terbaru dari organisasi Pantau Gambut menunjukkan restorasi lahan gambut belum berjalan efektif. "Masyarakat adat juga harus dilindungi," tambah Hikmat.

Ia menyoroti peran penting masyarakat adat dalam melindungi hutan, namun hak atas tanah mereka kerap kali terganggu oleh ekspansi industri. Menurutnya, Kementerian Kehutanan perlu memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap masyarakat adat dan memastikan hak-hak mereka diakui.

Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup juga menghadapi tantangan besar, terutama dalam mengatasi polusi udara di kawasan urban. Hikmat menyebut Jakarta sebagai salah satu kota yang paling rentan terhadap dampak buruk polusi udara, yang semakin memperburuk kualitas hidup warganya.

Selain itu, masalah pencemaran badan air seperti sungai dan danau juga menjadi sorotan. Limbah industri, pengelolaan sampah yang buruk, dan polusi plastik menjadi faktor utama yang memperparah kondisi ini.

"Pencemaran badan air yang merugikan masyarakat, baik sungai danau dan lain-lain masih terus terjadi, akibat limbah industri yang tidak bertanggung jawab, pengelolaan sampah yang kurang baik, maupun limbah plastik," kata Hikmat.

Ia juga menyinggung kerusakan lingkungan akibat industri pertambangan, seperti yang terjadi di Kalimantan dan Sulawesi. "Industri nikel yang saat ini ramai diperbincangkan menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat, termasuk pencemaran tanah dan air. Perlu lebih tegas lagi menegakkan hukum dan aturan," katanya.

Hikmat menegaskan pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, ia menilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih lemah dalam menindak para pelanggar.

"Di beberapa tahun terakhir masih terlihat KLHK beberapa kali lemah dalam penegakan hukum terhadap pelanggar dan perusak lingkungan. Misalnya di sektor pertambangan, kehutanan. Semoga sekarang mereka bisa mampu menegakkan hukum dan aturan, termasuk berani menerapkannya kepada kekuatan industri besar serta kekuatan politik tertentu, demi tercapainya perlindungan lingkungan serta masyarakat Indonesia," kata Hikmat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement