Rabu 06 Nov 2024 19:00 WIB

Pemerintah Didorong Segera Buat Peta Jalan Pensiun Dini PLTU Batu Bara

Program pensiun dini PLTU membutuhkan komitmen besar.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Satria K Yudha
 PLTU Suralaya (ilustrasi)
Foto: dok. PLN
PLTU Suralaya (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia perlu segera menetapkan peta jalan pengakhiran dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Ini sebagai acuan untuk menemukan solusi, mengantisipasi risiko, mendorong kolaborasi antar lembaga pemerintahan dan institusi finansial. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai PLTU batu bara merupakan kontributor emisi signifikan. Strategi pengakhiran dini PLTU batu bara akan mempercepat pengurangan emisi. Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik telah membatasi pembangunan PLTU baru, kecuali di sektor industri dan PLTU yang sudah dalam perencanaan.

Analisis IESR menunjukkan, agar selaras dengan target pembatasan suhu bumi 1,5 derajat Celcius dalam Persetujuan Paris, maka sektor energi perlu mencapai nol emisi pada 2050. Dengan pertimbangan kapasitas, umur aset, serta kebutuhan energi yang berbeda antara PLTU batu bara dalam jaringan PLN (on grid) yang lebih tua, dengan PLTU di luar jaringan (captive) yang lebih muda, maka upaya mitigasi emisi sampai 2050 perlu dikontribusikan dari PLTU batubara on-grid mencapai 68 persen dan sisanya dari off-grid.

Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR Deon Arinaldo memaparkan dalam sesi “Unlocking the Indonesia Coal Retirement Roadmap” di Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 pada Selasa (5/11/2024), pemerintah Indonesia masih berfokus pada pemanfaatan amonia dan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage, CCS) mitigasi emisi PLTU batu bara. Namun ia menilai strategi tersebut perlu mempertimbangkan potensi kenaikan biaya listrik, keterbatasan kematangan teknologi CCS dalam penyerapan karbon, serta persaingannya dengan kebutuhan lain (ammonia untuk kebutuhan industri).

"Sebagian besar PLTU on-grid saat ini berumur sekitar 20 tahun, sedangkan PLTU captive rata-rata berumur sekitar 10 tahun. Oleh karena itu, strategi intervensi lebih mudah diterapkan pada PLTU on-grid," kata Deon dalam keterangan resmi IESR, diedarkan pada Rabu (6/11/2024).

Berdasarkan analisis IESR, strategi pengakhiran dini PLTU batu bara untuk on-grid dan captive harus berbeda. Untuk PLTU on-grid, perlu dipertimbangkan kapasitas dan stabilitas listrik (aspek teknis) serta ketersediaan investasi. Sebagian PLTU on-grid bisa dihentikan operasinya, sementara sisanya dioperasikan secara fleksibel. 

"Untuk PLTU captive/off-grid yang bisa digantikan energi terbarukan mencapai 26 persen dan sisanya dapat menggunakan bahan bakar bersih sebagai solusi sementara hingga solusi jangka panjang, seperti integrasi dengan jaringan PLN, tersedia,” ujarnya, menambahkan.

IESR mendorong pemerintah untuk segera menetapkan peta jalan pengakhiran dini PLTU batu bara. Ada beberapa pertimbangan. Pertama, memastikan komitmen politik dan kepemimpinan kuat yang dipimpin langsung oleh presiden karena pengakhiran PLTU belum pernah diterapkan di Indonesia. Kedua, solusi yang beragam untuk memitigasi dan mendistribusi potensi dampak negatif pada berbagai aktor seperti PLN, pemilik PLTU dan pekerja.

Ketiga, memperjelas kebutuhan pendanaan dan target PLTU yang memerlukan bantuan dana dari pemerintah Indonesia dan internasional terutama untuk eksekusinya. Keempat, memperkuat kolaborasi antara pemerintah, institusi keuangan, dan swasta untuk menemukan solusi inovatif.

“Penerapan peta jalan pengakhiran dini PLTU dan implementasinya di Indonesia membutuhkan panduan komitmen yang besar, bahkan kepemimpinan tertinggi yakni Presiden Republik Indonesia, dapat memberikan penugasan yang jelas agar menjadi prioritas serta dasar kolaborasi antara kementerian terkait dengan aktor utama lainnya,” tutur Deon.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement