REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Holding BUMN Industri Pertambangan (MIND ID) tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi lewat hilirisasi. Perusahaan juga memperkuat langkah dekarbonisasi sebagai komitmen menuju industri pertambangan yang rendah emisi dan berkelanjutan.
Direktur Strategic Support & Human Capital PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Benny Alexander F.D. Wiwoho, menyampaikan hal itu dalam Human Capital Summit (HCS) 2025 di Jakarta, Selasa (3/6/2025). Menurutnya, ekspansi industri melalui hilirisasi menyebabkan lonjakan kebutuhan energi, yang berisiko meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).
“Isu dekarbonisasi bukan hanya tantangan MIND ID, tetapi tantangan global yang dihadapi oleh seluruh pelaku industri pertambangan dan manufaktur. Ketergantungan pada energi fosil masih tinggi, sementara transisi ke energi bersih membutuhkan kesiapan sistemik,” kata Benny dalam keterangan resmi MIND ID, dikutip pada Rabu (4/6/2025).
Berdasarkan proyeksi internal, konsumsi energi Grup MIND ID diperkirakan melonjak dari 48.000 terajoule (TJ) pada 2023 menjadi 266.000 TJ pada 2030. Peningkatan ini diperkirakan menyebabkan emisi GRK naik tajam dari 4.100 kiloton CO₂ ekuivalen (ktCO₂e) menjadi sekitar 31.060 ktCO₂e—atau lebih dari tujuh kali lipat dalam tujuh tahun.
Menanggapi tantangan ini, MIND ID menargetkan penurunan emisi sebesar 21,4 persen pada 2030. Target ini selaras dengan komitmen Indonesia dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) dan visi Net Zero Emission 2060.
“Ini adalah tantangan yang harus dikelola secara strategis. Target 21,4 persen ini merupakan peta jalan kami dalam memastikan bahwa pertumbuhan industri tetap sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan,” ujar Benny.
Corporate Secretary MIND ID, Pria Utama, menjelaskan ada empat strategi utama yang disiapkan untuk mencapai target tersebut. Pertama, konversi bahan bakar ke energi rendah karbon seperti B35, B40, dan LNG. Kedua, efisiensi operasional melalui inovasi teknologi, digitalisasi, dan elektrifikasi proses produksi.
Ketiga, pemanfaatan energi terbarukan dan co-firing, termasuk pemasangan panel surya (Solar PV), PLTA, dan penggunaan biomassa pada fasilitas peleburan dan pembangkit.
Keempat, optimalisasi Renewable Energy Certificate (REC) dan carbon offset lewat perdagangan karbon dan pengembangan proyek Nature-Based Solutions (NBS).
“Kami meyakini bahwa kemajuan industri harus disertai dengan tanggung jawab yang semakin besar terhadap lingkungan. Masa depan pertambangan bukan hanya soal menghasilkan lebih banyak, tetapi bagaimana kita menghasilkan dengan cara yang lebih bijak,” kata Pria.