REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengungkapkan strategi untuk mencapai nol emisi. Menurut dia, nol emisi dapat diraih dengan meningkatkan energi terbarukan tiga kali lipat dan melipatgandakan efesiensi dua kali lipat.
Eniya mengatakan, dalam arah kebijakan nasional yang dituangkan hingga tahun 2045, ketahanan energi dan keadilan akses menjadi fokus utama. “Kita sudah mendengarkan bapak Presiden beberapa kali menyampaikan pentingnya energi baru terbarukan dan transisi energi sebagai prioritas pembangunan menuju Indonesia Emas,” kata Eniya di SCG ESG Symposium, Selasa (19/11/2024).
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Nasional (RPJPN), pemerintah menggarisbawahi pentingnya ketahanan energi yang mencakup aksesibilitas dan keterjangkauan. “Saat ini, parameter ketahanan energi kita masih rendah, berada di angka 6,6 dari skala 4-10. Ini menunjukkan posisi kita di tingkat 'tahan' tetapi masih perlu dorongan besar untuk mencapai 'sangat tahan',” jelas Eniya.
Pemerintah menargetkan bauran energi sebesar 23 persen pada 2025. Namun, capaian saat ini baru menyentuh 14 persen, menunjukkan perlunya percepatan implementasi kebijakan. Strategi utama mencakup pengembangan energi rendah karbon seperti hidrogen, amonia, hingga nuklir, yang mulai diproyeksikan masuk dalam rencana kelistrikan nasional pada 2032-2034.
Eniya memaparkan formula yang menjadi panduan transisi energi, yakni “3 Renewable Energy (RE) plus 2 Energy Efficiency (EE)=Net Zero Emission (NZE)”. Strategi ini menekankan peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan seperti fotovoltaik, angin, dan hidro, ditambah dua kali lipat efisiensi energi melalui manajemen energi di berbagai sektor.
“Upaya ini dapat menurunkan emisi hingga 52 persen melalui energi terbarukan dan 32 persen melalui efisiensi energi,” katanya.
Pemerintah juga tengah merancang peraturan baru untuk mewajibkan semua gedung melakukan manajemen energi demi mendukung target tersebut. Indonesia memiliki potensi energi terbarukan hingga 13,6 terawatt, namun pemanfaatannya baru mencapai 0,3 persen. Solar menjadi potensi terbesar dengan 3,2 terawatt, disusul angin dan panas bumi.
Eniya juga menyoroti rencana pengembangan PLTS Apung di beberapa waduk besar seperti Cirata, Singkarak, dan Saguling. Di sektor bioenergi, pemerintah telah meningkatkan mandatori biodiesel dari 35 persen menjadi 40 persen per Januari mendatang, dengan target 50 persen di masa depan. Pengembangan bioetanol dan bioavtur juga tengah diprioritaskan untuk membuka industri baru dan meningkatkan nilai tambah domestik.
Efisiensi energi menjadi langkah paling praktis untuk mendukung transisi energi dengan investasi minimal. “Langkah sederhana seperti mengganti lampu dengan LED, mengatur AC, hingga menggunakan sensor otomatis dapat membantu penghematan besar,” ujar Eniya.
Kementerian ESDM juga telah meluncurkan program pelabelan peralatan elektronik dengan bintang lima sebagai simbol efisiensi energi. Label ini diharapkan dapat mempermudah masyarakat dalam memilih produk hemat energi.
Meski potensi besar energi terbarukan ada, Eniya mengakui masih banyak tantangan, terutama dalam pengelolaan infrastruktur di daerah terpencil. Ia menyerukan perlunya kolaborasi lintas sektor, termasuk peran generasi muda sebagai "lokal champion" untuk merawat fasilitas seperti PLTS, mikro hidro, dan energi angin.
“Keberlanjutan proyek-proyek energi di daerah harus menjadi perhatian utama agar manfaatnya dapat dirasakan oleh generasi berikutnya,” tegasnya.
Pemerintah optimistis target transisi energi yang berkeadilan dapat tercapai melalui sinergi kebijakan nasional, investasi internasional, dan komitmen kuat dari seluruh lapisan masyarakat. Strategi ini tidak hanya berkontribusi pada pencapaian Net Zero Emission 2060, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin energi berkelanjutan di kawasan.