Senin 30 Dec 2024 17:33 WIB

Dibanding Naikkan PPN, Pemerintah Diusulkan Terapkan Cukai Karbon Kendaraan

Potensi penerimaan dari cukai karbon kendaraan lebih tinggi dibanding kenaikan PPN.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Petugas melakukan uji emisi kendaraan roda empat di lapangan parkir GOR Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (15/8/2024). Uji emisi kendaraan yang digelar secara gratis oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor dengan diikuti sebanyak 150 kendaraan roda dua dan empat tersebut untuk mengetahui baku mutu buangan emisi kendaraan dan sebagai bentuk penanganan kualitas udara yang buruk akibat polusi kendaraan di Kota Bogor.
Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
Petugas melakukan uji emisi kendaraan roda empat di lapangan parkir GOR Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (15/8/2024). Uji emisi kendaraan yang digelar secara gratis oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor dengan diikuti sebanyak 150 kendaraan roda dua dan empat tersebut untuk mengetahui baku mutu buangan emisi kendaraan dan sebagai bentuk penanganan kualitas udara yang buruk akibat polusi kendaraan di Kota Bogor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) mengusulkan penerapan cukai karbon kendaraan sebagai alternatif dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Usulan ini muncul di tengah polemik berkepanjangan mengenai dampak kenaikan PPN terhadap inflasi dan daya beli masyarakat.

Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin mengatakan, kenaikan PPN sebesar 1 persen dapat memicu berbagai dampak ekonomi, termasuk inflasi dan tekanan moneter. "Daripada berpolemik panjang, sebenarnya masih ada instrumen lain untuk membangun ruang fiskal yang dapat memudahkan pemerintah dalam memenuhi anggaran negara," ujarnya dalam konferensi pers yang diadakan pada Senin (30/12/2024).

Baca Juga

Dalam paparannya, Ahmad mengaitkan usulan cukai karbon dengan masalah emisi kendaraan bermotor yang menjadi penyumbang terbesar polusi udara di kota-kota besar Indonesia. Data menunjukkan kendaraan bermotor menyumbang 47 persen partikel debu PM10 dan 57 persen PM2.5. Sepeda motor, yang mendominasi 81 persen populasi kendaraan bermotor di Indonesia, menjadi kontributor utama emisi ini.

Ahmad mengungkapkan emisi karbon dioksida dari sektor transportasi diprediksi mencapai 473 juta ton pada tahun 2030 jika tidak ada tindakan pengendalian. "Pada tahun 2023, emisi karbon dioksida sudah mencapai 295 juta ton, meningkat dari 255 juta ton pada tahun 2019," jelasnya.

Sebagai solusi, KPBB mengusulkan penerapan standar emisi karbon untuk kendaraan bermotor. Standar ini akan membatasi emisi karbon kendaraan penumpang hingga 118 gram per kilometer pada tahun 2025, dan lebih ketat lagi menjadi 60 gram per kilometer pada tahun 2030. Untuk sepeda motor, batasan emisi diusulkan menjadi 85 gram per kilometer pada tahun 2025.

Ahmad menjelaskan dengan adanya standar ini, pemerintah dapat menerapkan kebijakan fiskal berupa cukai karbon. "Setiap gram emisi yang melebihi standar akan dikenakan cukai, sementara emisi di bawah standar akan mendapatkan insentif," katanya. Cukai ini diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk memilih kendaraan dengan emisi rendah.

Menurut perhitungan KPBB, cukai karbon dapat menghasilkan pendapatan negara sekitar Rp 92 triliun per tahun, jauh lebih besar dibandingkan potensi pendapatan dari kenaikan PPN yang diperkirakan Rp 67 triliun. "Dengan demikian, pemerintah tidak perlu khawatir tentang inflasi atau daya beli masyarakat," tambah Ahmad .

Ia juga menekankan kebijakan ini tidak akan menyulitkan masyarakat berpendapatan rendah. "Masyarakat dapat memilih kendaraan yang lebih murah dengan emisi rendah," ujarnya.

Selain meningkatkan pendapatan negara, penerapan cukai karbon juga diharapkan dapat mengurangi emisi karbon hingga 59 persen pada tahun 2030, melampaui target pengurangan emisi yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contributions (NDC) sebesar 41 persen. Kebijakan ini juga diproyeksikan dapat menghemat konsumsi bahan bakar minyak nasional hingga 59 juta kiloliter bensin dan 56 juta kiloliter solar, setara dengan penghematan sebesar 677 triliun rupiah.

Ahmad berharap pemerintah mempertimbangkan usulan ini sebagai solusi yang lebih adil dan efektif dalam mengatasi tantangan fiskal dan lingkungan. "Ini adalah jalan tengah yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan secara bersamaan," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement