Senin 10 Feb 2025 18:00 WIB

La Nina tak Lagi Mampu Dinginkan Suhu Bumi

Emisi gas rumah kaca harus ditekan secara drastis.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Dampak perubahan iklim kian nyata. Suhu bumi tetap meningkat meski ada fenomena La Nina.
Foto: Antara/Galih Pradipta
Dampak perubahan iklim kian nyata. Suhu bumi tetap meningkat meski ada fenomena La Nina.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Bulan lalu tercatat sebagai Januari terpanas dalam sejarah, dengan suhu rata-rata global mencapai 1,7 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Temuan ini mengejutkan para ilmuwan, mengingat fenomena La Nina biasanya dapat menyebabkan pendinginan suhu.

"Meskipun La Nina seharusnya sedikit mendinginkan suhu global, pemanasan lautan yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah mengalahkan efek pendinginan tersebut, ini menunjukkan betapa signifikannya dampak aktivitas manusia terhadap iklim global," tulis peneliti perubahan iklim di University of Reading, Inggris, Richard P. Allan dalam artikelnya di The Conversation, akhir pekan lalu.

Baca Juga

Dalam artikel tersebut, Allan menjelaskan La Nina, bagian dari siklus El Nino-Southern Oscillation (ENSO), biasanya menyebabkan pendinginan perairan di Pasifik timur dan berdampak pada pola cuaca global. Allan mengatakan pada tahun 2024, Pasifik beralih dari kondisi El Nino yang moderat ke La Nina yang lemah. "Namun, kali ini, tampaknya tidak cukup untuk menghentikan pemanasan dunia, bahkan untuk sementara," kata Allan.

Allan menjelaskan pemanasan lautan yang terus berlanjut, yang disebabkan oleh akumulasi gas rumah kaca di atmosfer, merupakan faktor utama di balik suhu Januari yang memecahkan rekor. "Panas yang tersimpan di lautan selama bertahun-tahun kini melepaskan energinya, memperkuat efek pemanasan global," tambahnya.

Selain pemanasan lautan, penurunan efek pendinginan dari polusi partikel juga berkontribusi pada suhu yang lebih tinggi. Kebijakan udara bersih, meskipun bermanfaat bagi kesehatan manusia, telah mengurangi jumlah aerosol di atmosfer yang biasanya memantulkan sinar matahari kembali ke luar angkasa.

Suhu yang lebih tinggi dari rata-rata tercatat di berbagai wilayah dunia, termasuk Eropa, Kanada, Siberia, Amerika Selatan, Afrika, Australia, dan Antartika. Meskipun satu bulan saja tidak cukup untuk menentukan tren jangka panjang, Januari 2025 memberikan gambaran yang mengkhawatirkan tentang dampak perubahan iklim yang terus berlanjut.

Allan menekankan perlunya pengurangan emisi gas rumah kaca secara drastis dan cepat untuk membatasi dampak perubahan iklim yang semakin parah. "Kita perlu mengambil tindakan segera dan signifikan untuk mengurangi emisi dan beradaptasi dengan perubahan iklim yang sudah terjadi," katanya. "Biaya untuk tidak bertindak jauh lebih besar daripada biaya untuk bertindak sekarang," tulisnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement