Selasa 25 Feb 2025 16:09 WIB

Perusahaan Energi Fosil Raup Untung di Tengah Krisis Iklim

Perusahaan energi fosil saat ini menikmati keuntungan besar akibat lonjakan harga.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Ladang migas (ilustrasi).
Foto: AP PHOTO
Ladang migas (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), banyak kawasan dan perusahaan melemahkan upaya iklimnya. Komisi Eropa mengusulkan untuk menghapus banyak perusahaan dari daftar peraturan karbon Uni Eropa.

Selain itu, perusahaan energi Inggris, British Petroleum (BP) juga membatalkan target untuk meningkatkan produksi energi terbarukan 20 kali lipat pada tahun 2030, dan mengembalikan fokus pada bahan bakar fosil, sebagai bagian dari perubahan strategi perusahaan.

Baca Juga

Pakar ESG dan konsultan di Green Network, Jalal mengungkapkan banyak perusahaan energi fosil saat ini menikmati keuntungan besar akibat lonjakan harga dan permintaan pasca-pandemi Covid-19. Menurut Jalal, perusahaan-perusahaan ini cenderung beroperasi dengan fokus jangka pendek, merespons situasi pasar yang menguntungkan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap krisis iklim.

Jalal menjelaskan, selama pandemi Covid-19, permintaan energi menurun drastis, terutama energi fosil. Namun, ketika ekonomi global mulai pulih, permintaan energi melonjak, menyebabkan harga energi fosil meningkat tajam. "Perusahaan-perusahaan ini mendapatkan 'durian runtuh' dari dua sisi: pasar yang membesar dan harga yang naik," ujar Jalal di sela diskusi Peran Investasi ESG Bank Domestik dalam Pendanaan Transisi Energi, Selasa (25/2/2025).

Ia menyoroti banyak perusahaan energi fosil lebih tertarik pada keuntungan jangka pendek daripada melakukan transisi menuju energi terbarukan. "Para CEO sering kali dinilai berdasarkan kinerja kuartalan, sehingga mereka cenderung mengambil peluang yang menguntungkan dalam jangka pendek," tambahnya.

Jalal juga mengomentari situasi politik di Amerika Serikat, di mana kepemimpinan Donald Trump dianggap sebagai dalih bagi perusahaan-perusahaan ini untuk terus mengeksploitasi energi fosil. "Ini bukan tentang transisi atau efisiensi, tetapi tentang memanfaatkan situasi politik untuk keuntungan jangka pendek," katanya.

Jalal memperingatkan, meskipun saat ini perusahaan-perusahaan tersebut menikmati keuntungan, krisis iklim yang semakin parah akan membawa dampak negatif di masa depan. "Krisis iklim akan semakin menekan, dan pada akhirnya, perusahaan-perusahaan ini tidak akan bisa menghindar dari kebutuhan untuk beralih ke energi terbarukan," jelasnya.

Di Indonesia, Jalal mencatat ada potensi untuk mengikuti jejak negara-negara lain yang menarik diri dari komitmen iklim. Namun, ia optimistis tren transisi energi akan kembali menguat. "Ini adalah guncangan sementara. Pada akhirnya, biaya energi fosil yang lebih tinggi dibandingkan energi terbarukan akan memaksa perubahan," tegasnya.

Jalal yakin meskipun saat ini banyak pihak yang mengambil keuntungan jangka pendek, transisi menuju energi terbarukan adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari.

"Kita harus serius menghadapi krisis iklim, dan transisi energi adalah bagian penting dari solusi jangka panjang," pungkasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement