Jumat 25 Jul 2025 15:40 WIB

Kementerian Lingkungan Hidup Tekankan Peran Swasta Atasi Krisis Iklim dan Sampah

RDF dinilai berpeluang jadi solusi pengolahan sampah di daerah.

Rep: Lintar Satria/ Red: Ahmad Fikri Noor
Wakil Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Diaz Hendropriyono.
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Diaz Hendropriyono.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Diaz Hendropriyono, kembali menegaskan pentingnya aksi kolaboratif lintas sektor dalam menghadapi krisis iklim yang kian nyata. Ia menyoroti peningkatan dampak perubahan iklim di sejumlah kota besar di Indonesia.

“Menurut Climate Central, tiga kota besar, yakni Makassar, Jakarta, dan Semarang, kini masuk dalam kategori climate index level 3, di mana panas ekstrem bukan lagi faktor alamiah, melainkan akibat langsung dari human cost dan pemanasan global,” ujar Diaz dalam forum Indonesia Corporate Sustainability Outlook (ICSO) 2025, Kamis (25/7/2025).

Baca Juga

Diaz menyebutkan, sampah menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar. Gas metana (CH₄) yang dihasilkan dari timbunan sampah diketahui 84 kali lebih berbahaya dibanding karbon dioksida (CO₂) dalam jangka waktu 20 tahun.

“Semua kegiatan kita, termasuk membuang sampah, menghasilkan emisi,” kata dia.

Ia memaparkan, satu ton sampah padat dapat menghasilkan sekitar 1,7 ton CO₂ ekuivalen ke atmosfer. Di Jakarta, volume sampah mencapai 7.500 ton per hari, sementara secara nasional jumlah sampah yang masuk ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) mencapai 56 juta ton, dan menumpuk hingga 1,6 miliar ton.

“Semuanya menghasilkan metana. Bagaimana Indonesia tidak makin panas?” ujarnya retoris.

Pemerintah, kata Diaz, telah melakukan pembinaan terhadap 343 TPA open dumping dan mendorong pembangunan fasilitas waste-to-energy (WTE) di daerah dengan timbulan sampah lebih dari 1.000 ton per hari. Namun, menurutnya, justru daerah dengan volume di bawah ambang tersebut menjadi peluang besar bagi sektor swasta.

“Sebetulnya ada banyak business opportunities. Di berbagai daerah yang menghasilkan sampah di bawah 1.000 ton per hari, ada peluang besar mengembangkan pengolahan sampah, seperti melalui teknologi Refuse Derived Fuel (RDF). Ini jadi kesempatan nyata bagi pelaku usaha,” ujar Diaz.

Diaz juga mengungkapkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup tengah memperluas cakupan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper). Program ini kini mencakup aspek penanganan sampah secara mandiri oleh korporasi.

“Proper akan diperluas, yang awalnya hanya di kepelabuhanan, sekarang semua perusahaan akan dilihat dari sisi pengelolaan sampah mereka,” katanya.

Semangat kolaborasi menjadi sorotan utama dalam forum tersebut. Pelaku usaha kini tidak lagi diposisikan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai motor utama dalam mendorong transformasi menuju ekonomi hijau yang inklusif dan tangguh.

“Dengan adanya kolaborasi, kami optimistis ekonomi hijau dapat diimplementasikan, tidak hanya untuk mendukung agenda global, tapi juga pembangunan nasional,” kata Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, Nizhar Marizi.

Senada dengan itu, CEO PT Olahkarsa, Unggul Ananta, menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor.

“Kami berharap sustainability tidak hanya muncul sebagai tren, tetapi menjadi strategi jangka panjang,” ujarnya.

Forum tersebut turut dihadiri Wakil Ketua Kadin serta perwakilan dari berbagai perusahaan BUMN dan swasta yang aktif dalam isu keberlanjutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement