REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Jakarta Pramono Anung menyatakan bahwa keberadaan fasilitas Refused Derived Fuel (RDF) yang ada di Bantargebang, Bekasi, dan Rorotan, Jakarta Utara, masih belum bisa menuntaskan masalah sampah di Jakarta. Pasalnya, volume sampah yang dihasilkan masih lebih banyak dibandingkan yang bisa diolah.
Pramono mengatakan, rata-rata volume sampah di Jakarta per harinya mencapai 8.000 ton. Sementara itu, RDF di Bantargebang hanya bisa mengolah 2.000 ton sampah. Sedangkan RDF di Rorotan yang rencanannya beroperasi pada April 2025, diproyeksi bisa mengolah sampah mencapai 2.500 ton per hari.
"Dengan proses yang ada, ada RDF di Bantargebang maupun Rorotan, mudah-mudahan bisa turun nanti sampai dengan 5.000-6.000 (ton)," kata Pramono di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Rabu (19/3/2025).
Meski demikian, ia menilai, fasilitas yang ada saat ini belum bisa mengatasi masalah sampah di Jakarta. Karena itu, dibutuhkan upaya lain untuk menangani masalah sampah. "Kalau ada insinerator seperti yang disampaikan Pak Menko Pangan (Zulkifli Hasan), dan kalau harganya memang sesuai," kata Pramono.
Ia menilai, masalah dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dengan teknologi insinerator adalah belum adanya investor. Para investor disebut belum berani membangun PLTSa karena biaya yang dibayarkan pemerintah daerah kepada pengelola sampah (tipping fee) dinilai belum sesuai.
Pramono mengungkapkan pengalamannya menjadi Sekretaris Kabinet (Seskab) di era pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo, yang selalu menyiapkan peraturan presiden (Perpres) tentang tipping fee. Namun, tetap tidak ada investor yang mau membangun PLTSa.
"Menurut dia, harus ada penyesuaian harga untuk membeli listrik yang dihasilkan PLTSa. Apabila hal itu bisa dilakukan, menurut dia, permasalahan sampah di Jakarta dan berbagai wilayah lain di Indonesia dapat ditangani dengan baik.