Jumat 21 Mar 2025 06:00 WIB

Alih Fungsi Lahan Jadi Penyebab Banjir Jabodetabek, Hutan Jadi Permukiman

Penyempitan sungai juga memperburuk situasi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Warga mengamati informasi pada papan penyegelan bangunan yang diduga merusak lingkungan di kawasan wisata Hibisc Fantasy Puncak, Bogor, Jawa Barat, Kamis (6/3/2025). Kementerian Lingkungan Hidup menginspeksi dan memasang papan pengawasan lingkungan hidup di empat lokasi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang diduga dibangun tanpa persetujuan lingkungan dan berkontribusi dalam banjir di wilayah hilir.
Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
Warga mengamati informasi pada papan penyegelan bangunan yang diduga merusak lingkungan di kawasan wisata Hibisc Fantasy Puncak, Bogor, Jawa Barat, Kamis (6/3/2025). Kementerian Lingkungan Hidup menginspeksi dan memasang papan pengawasan lingkungan hidup di empat lokasi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang diduga dibangun tanpa persetujuan lingkungan dan berkontribusi dalam banjir di wilayah hilir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pengendalian DAS dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) Kementerian Kehutanan Dyah Murtiningsih menjelaskan, banjir di Jabodetabek, khususnya di Puncak, Bekasi, Tangerang, dan Batu Tulis pada awal Maret lalu disebabkan alih fungsi lahan di Areal Penggunaan Lain (APL). Daerah atau yang seharusnya merupakan kawasan lindung dibangun menjadi permukiman atau kawasan industri.

"Hal ini menyebabkan lokasi tersebut menjadi kedap air, sehingga air melimpas melewati area yang seharusnya berfungsi sebagai resapan. Selain itu, penyempitan alur sungai juga memperburuk situasi, di mana alur sungai yang seharusnya 11 meter menyempit menjadi 3 meter," kata Dyah, Kamis (20/3/2025).

Baca Juga

Kondisi ini, tambah Dyah, diperparah banyaknya pemukiman di sekitar sungai yang mengurangi fungsi resapan air. Akibatnya, air menggenang di area permukiman yang menyebabkan banjir.

Dya menjelaskan, seluruh kawasan dan perairan di Indonesia terbagi ke dalam daerah aliran sungai (DAS), yang mencakup hulu hingga hilir. Hulu terletak di bagian atas dengan topografi yang miring, sedangkan hilir lebih landai hingga mencapai sungai.

Ketika hujan turun, air akan mengalir dari atas ke bawah dengan kemiringan tertentu, yang memudahkan aliran air. Namun, perubahan tutupan lahan atau area yang seharusnya berfungsi sebagai resapan dapat memperburuk kondisi DAS. Hal ini menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya banjir.

Ada beberapa indikator yang dapat memicu terjadinya banjir. Salah satunya adalah curah hujan tinggi. Curah hujan yang sangat lebat, di atas 100 mm per hari, dapat meningkatkan potensi banjir atau tanah longsor.

"Data curah hujan pada periode 27 Februari hingga 3 Maret menunjukkan bahwa curah hujan tercatat sangat ekstrem, berkisar antara 100 hingga 145 mm, yang termasuk dalam kategori curah hujan ekstrem," kata Dyah.  

Analisis terhadap kejadian bencana hidrometeorologi di awal Maret menunjukkan banjir terjadi di beberapa lokasi dengan DAS yang berbeda. Misalnya, banjir di Puncak terjadi di DAS Ciliwung, sementara banjir di Bekasi terjadi di DAS Kali Bekasi. Selain itu, longsor di Batu Tulis terjadi di sub-DAS Cisadane, dan banjir di Tangerang Selatan terjadi di DAS Kali Angke Pesanggrahan.

"Penting untuk dicatat bahwa kejadian banjir di satu lokasi tidak berkaitan dengan kondisi DAS di hulu DAS Ciliwung," kata Dyah.

Luas kawasan hutan di empat DAS tersebut mencapai sekitar 47.705 hektare, atau 12,23 persen dari total luas kawasan. Dari analisis tutupan lahan, ditemukan proporsi permukiman di masing-masing DAS cukup signifikan. Di DAS Ciliwung, 61,78 persen lahan digunakan untuk permukiman, sedangkan di DAS Cisadane, proporsi permukiman mencapai 25,65 persen. Di DAS Kali Angke Pesanggrahan, angka ini bahkan lebih tinggi, yaitu 83,37 persen, dan di DAS Kali Bekasi, 41,85 persen lahan juga digunakan untuk pemukiman.

Selain itu, terdapat 13.955 hektare lahan kritis di dalam kawasan hutan dan 23.435 hektare di luar kawasan hutan. Lahan kritis ini berkontribusi terhadap meningkatnya limpasan, erosi, dan sedimentasi di alur sungai, yang pada gilirannya menurunkan kapasitas pengaliran sungai.

Dengan demikian, pengelolaan lahan yang baik dan perlindungan terhadap kawasan hutan sangat penting untuk mencegah bencana hidrometeorologi di masa depan.

Dyah menyampaikan langkah-langkah penanganan untuk mencegah banjir kembali terjadi. Di dalam kawasan hutan, pihaknya akan melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), dalam bentuk penanaman. Kemudian, menerapkan teknik konservasi tanah dan air dalam berupa DAM pengendali dan DAM penahan pada lokasi-lokasi dan kemiringan tertentu. Fungsi bangunan KTA ini untuk menahan sedimen, dan untuk mengendalikan air yang turun dari hulu.

Penanganan pada lokasi di APL juga sama, khususnya yang topografinya miring dilakukan RHL dengan tanaman vegetatif, dan bangunan sipil teknis

"Tentu saja hal ini tidak bisa dikerjakan oleh satu pihak. Kita akan intensif kedepan melakukan penanaman. Kami akan mendukung dengan penyediaan bibit-bibit dari Persemaian Rumpin untuk penanaman baik di dalam maupun luar kawasan hutan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement