REPUBLIKA.CO.ID, BRASILIA – India menyerukan komunitas internasional untuk menjadikan petani kecil dan marjinal sebagai pusat strategi pertanian global. Dalam Pertemuan Menteri Pertanian BRICS di Brasil, India menegaskan bahwa petani kecil tidak dapat menghadapi tantangan besar seperti perubahan iklim, ketidakpastian harga, dan kelangkaan sumber daya tanpa dukungan kebijakan yang kuat.
“Kita tidak bisa membiarkan petani kecil menghadapi tantangan ini sendirian. Mereka membutuhkan dukungan kebijakan yang nyata,” ujar Menteri Pertanian India, Shivraj Singh Chouhan, seperti dikutip dari The Hindu Businessline, Sabtu (19/4/2025).
Chouhan menegaskan bahwa ketahanan pangan global tidak akan tercapai tanpa pemberdayaan dan perlindungan bagi petani kecil. Dalam pertemuan tersebut, ia mempresentasikan sejumlah pendekatan yang diterapkan India, seperti pertanian berbasis klaster, organisasi produsen petani, model koperasi, dan pertanian alami sebagai solusi untuk memperkuat akses pasar dan ketahanan petani kecil.
Pertemuan itu juga menekankan pentingnya perdagangan pertanian yang adil, pengendalian volatilitas harga global, serta jaminan harga yang menguntungkan bagi petani kecil. India turut membagikan inovasi teknologinya, termasuk Digital Agriculture Mission, AgriStack, teknologi drone, serta inisiatif “Desa Tangguh Iklim” yang telah berkontribusi pada peningkatan layanan dan pendapatan petani.
Salah satu hasil konkret dari pertemuan ini adalah peluncuran Kemitraan Restorasi Lahan BRICS, inisiatif bersama untuk mengatasi degradasi lahan, penggurunan, dan penurunan kesuburan tanah.
Dalam Deklarasi Bersama, negara-negara BRICS menyatakan komitmennya untuk membangun sistem pertanian-pangan global yang adil, inklusif, inovatif, dan berkelanjutan. Fokus utama diarahkan pada ketahanan pangan, adaptasi terhadap perubahan iklim, serta pemberdayaan perempuan dan generasi muda.
Chouhan juga mengundang negara-negara BRICS untuk berpartisipasi dalam dua ajang besar tahun depan: World Food India 2025 dan World Audio-Visual Entertainment Summit 2025, yang disebutnya sebagai platform kolaborasi dan inovasi global.
Sementara itu, dalam artikelnya di Modern Diplomacy, pakar hukum internasional dari Universitas Federal Minas Gerais (UFMG), Profesor Lucas Carlos Lima, menyebut COP30 dan pertemuan BRICS bukan sekadar ajang diplomasi, melainkan titik balik strategis dalam tata kelola lingkungan global.
“COP30 jelas merupakan forum utama negosiasi iklim dunia. Tapi jangan remehkan pengaruh BRICS, yang kini tengah mengalami proses ‘penghijauan’ signifikan,” tulisnya.
Menurut Lima, transformasi ini menunjukkan ambisi BRICS untuk berkembang dari sekadar blok ekonomi-politik menjadi aktor proaktif dalam upaya keberlanjutan global. Deklarasi para menteri lingkungan BRICS pada 2024 di Rusia juga menegaskan bahwa perubahan iklim kini menjadi prioritas utama blok tersebut.
“Agenda baru ini mencerminkan tekad BRICS untuk tidak hanya menantang tatanan global yang ada, tapi juga berkontribusi pada solusi jangka panjang bagi keberlanjutan planet ini,” tambahnya.