Rabu 23 Apr 2025 18:55 WIB

Hari Bumi 2025, Selamatkan Pantai Wuihebo dari Abrasi

Dampak abrasi sudah terlihat jelas akibat penambangan pasir ilegal.

Aksi menanam mangrove di Pantai Wuihebo, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Rabu (23/4/2025).
Foto: Dok Ist
Aksi menanam mangrove di Pantai Wuihebo, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Rabu (23/4/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, SABU RAIJUA — Semangat gotong royong dan kesadaran akan ancaman abrasi sangat terasa di kalangan masyarakat Pantai Wuihebo,Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat lokal berkolaborasi dengan Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP) Indonesia, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sabu Raijua  menggelar penanaman mangrove pada Rabu (23/4/2025) yang bertepatan dengan Hari Bumi Internasional 2025 bertema "Our Power, Our Planet".

Mama Jubina Wila, salah satu warga lokal, mengungkapkan ketakutannya akan dampak abrasi yang semakin parah."Jujur ya, saya pribadi ada ketakutan suatu waktu kami tidak bisa tinggal lagi di pinggir pantai kan kami tidak tahu kami harus kemana. Saya lihat itu dulu tidak terlalu berhubungan, tidak melebar. Kok dari tahun ke tahun ini melebar. Dulu kami masih bisa nyebrang, tapi sekarang susah. Makanya karena itu, saya takut," ungkap Mama Jubina.

Baca Juga

Kekhawatiran Mama Jubina bukan tanpa alasan. Abrasi telah menggerus daratan dan bahkan mengancam infrastruktur penting seperti gereja. Masyarakat pun merasakan dampaknya pada mata pencaharian, di mana hasil tangkapan ikan semakin sulit didapatkan di dekat pantai.

Mama Jubina pun bergabung dalam kegiatan penanaman mangrove. Sekitar 30 warga, termasuk anak-anak sekolah minggu, turut serta dalam penanaman mangrove kali ini. Meskipun antusias, Mama Jubina mengakui adanya keterbatasan bibit. Dari 6.000 bibit yang direncanakan, baru sebagian kecil yang berhasil ditanam.

"Total seluruhnya yang mau kami tanam itu 6.000 bibit untuk mencakup wilayah, kami sangat bersyukur melalui aksi penanaman mangrove saat hari bumi mendapatkan bibit 400 anakan," jelas Mama Jubina.

Meskipun menghadapi keterbatasan bibit, masyarakat Wuihebo tidak patah semangat. Mereka melakukan upaya swadaya, seperti memasang pagar manual dari kayu untuk melindungi bibit mangrove yang baru ditanam dari gelombang pasang dan hewan ternak yang dilepas bebas.

"Kami memasang pagar sepanjang 500 meter bersama dari kepala desa. Kepala desa ikut turun langsung ke masyarakat, dan terdapat pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kami wajibkan setiap penerima BLT untuk membawa lima batang kayu," cerita Mama Jubina.

Namun, tantangan dari alam tetap besar. Gelombang pasang saat musim barat seringkali merusak bibit mangrove yang baru ditanam. Meski demikian, masyarakat tidak menyerah dan terus melakukan penanaman ulang.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement