REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menekankan pentingnya peran investor dalam mendukung perusahaan yang berkomitmen memperbaiki lingkungan melalui investasi pada sektor-sektor berkelanjutan. Direktur Pengawasan Emiten dan Perusahaan Publik I OJK M Maulana mengatakan, investor dapat memanfaatkan laporan keberlanjutan untuk menilai emiten-emiten yang memiliki rencana konkret dalam meningkatkan kualitas lingkungan.
“Kami mewajibkan emiten untuk mempertanggungjawabkan rencananya ke depan, bagaimana upaya mereka memperbaiki lingkungan,” ujarnya dalam diskusi Kesiapan Dana Swasta Indonesia dalam Pembiayaan Iklim, Jumat (25/4/2025).
Menurut Maulana, tantangan terbesar saat ini adalah mendorong investor agar lebih memilih perusahaan yang fokus pada perbaikan lingkungan. Berdasarkan riset OJK, motivasi investor di Indonesia masih didominasi oleh tujuan pribadi dan belum sepenuhnya mengarah pada kepedulian terhadap isu lingkungan.
“Bagaimana kita bisa menjadikan investor sadar bahwa ini penting? Apalagi Indonesia sudah berjanji kepada dunia untuk mencapai zero emission pada tahun 2060,” kata Maulana.
Ia menegaskan tanggung jawab pencapaian target tersebut tidak hanya berada di tangan pemerintah atau pelaku usaha, tetapi juga para investor. Maulana juga mengingatkan agar investor tidak hanya mengejar imbal hasil semata, melainkan rela menerima return yang lebih rendah demi kontribusi terhadap perbaikan lingkungan.
Dari data OJK hingga 24 April 2025, total penerbitan green bond telah mencapai Rp 31,67 triliun sejak pertama kali diterbitkan sebesar Rp 500 miliar pada tahun 2018. Setelah sempat stagnan hingga tahun 2022, tren penerbitan green bond meningkat signifikan hingga tahun ini.
Selain green bond, Maulana menyebut terdapat pula instrumen sustainability bond sebagai bagian dari upaya mendukung pembiayaan berkelanjutan di pasar modal Indonesia.
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono, menyatakan perkembangan investasi berkelanjutan di pasar modal Indonesia menunjukkan tren yang sangat positif dalam beberapa tahun terakhir.
Denny mengungkapkan, tingkat keterbukaan emiten melalui laporan keberlanjutan mengalami lonjakan signifikan. “Pada tahun 2020, hanya sekitar 18 persen emiten yang menyampaikan keterbukaan melalui sustainability report. Namun pada tahun 2023, angkanya melonjak hingga mencapai sekitar 90 persen,” ujarnya.
Selain peningkatan transparansi, kualitas laporan dan penilaian risiko investasi juga membaik. BEI bekerja sama dengan dua mitra penilai ESG yaitu Sustainalytics dan S&P untuk menilai penerapan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) di pasar modal.
“Risiko investasi pada instrumen ekuitas yang sebelumnya tinggi di angka 33,5 pada tahun 2020 kini turun menjadi level moderat pada tahun 2024,” jelas Denny.
Dari sisi permintaan investor terhadap produk berbasis ESG juga meningkat pesat. BEI telah meluncurkan lima indeks ESG untuk mengakomodasi berbagai mekanisme investasi berkelanjutan sesuai kebutuhan investor. Menariknya, kelima indeks tersebut mencatatkan imbal hasil lebih tinggi dibandingkan indeks konvensional seperti LQ45 dan IDX30.
“Ini membuktikan mempertimbangkan aset ESG dalam portofolio tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan tetapi juga memberikan keuntungan finansial,” kata Denny.
Pertumbuhan dana kelolaan atau AUM (asset under management) produk berbasis ESG pun melonjak tajam dari hanya satu produk senilai Rp 42 miliar pada tahun 2016 menjadi sebanyak 25 produk dengan total AUM Rp 7,5 triliun per April 2024.
Jumlah investor yang menggunakan indeks ESG sebagai acuan juga terus bertambah seiring meningkatnya jumlah manajer investasi yang mematuhi standar internasional terkait keberlanjutan dari satu manajer pada tahun 2009 menjadi sebanyak 25 manajer per akhir tahun lalu.
Denny menegaskan inisiatif penguatan ekosistem keuangan berkelanjutan akan terus dilakukan oleh BEI termasuk pengelolaan taksonomi agar pemanfaatan prinsip-prinsip ISG semakin mudah diterapkan oleh pelaku pasar modal ke depan.