Kamis 15 May 2025 19:58 WIB

Perusahaan Energi Jepang Kurangi Investasi Dekarbonisasi

Perusahaan energi kembali melirik minyak dan gas.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Emisi karbon (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Emisi karbon (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO — Sejumlah perusahaan minyak besar di Jepang mulai menahan laju inisiatif dekarbonisasi mereka, termasuk proyek hidrogen dan amonia, seiring pergeseran global kembali ke bahan bakar fosil yang dianggap lebih stabil dan murah.

Langkah ini mencerminkan kekhawatiran baru atas ketahanan energi, ketidakpastian kebijakan Amerika Serikat, serta lonjakan harga bahan baku akibat inflasi yang mengganggu prediktabilitas dan profitabilitas proyek-proyek energi bersih.

Secara global, perusahaan energi kembali melirik minyak dan gas sebagai sumber keuntungan utama setelah harga bahan bakar fosil kembali melonjak pasca pandemi.

“Tren menuju masyarakat netral karbon melambat, dan pemisahan skala penuh dari transisi energi yang sebelumnya diharapkan terjadi sekitar tahun 2030 kini mungkin tertunda,” ujar CEO Eneos Holdings Tomohide Miyata dalam konferensi pers minggu ini.

Eneos Holdings, operator kilang terbesar di Jepang, memutuskan tidak terburu-buru memasok hidrogen dan amonia, dengan alasan kenaikan biaya telah mengaburkan kelayakan investasi modal. Dalam strategi bisnis terbarunya hingga Maret 2028, Eneos bahkan menghapus target sebelumnya untuk memasok hingga 4 juta metrik ton hidrogen pada tahun fiskal 2040.

Sebaliknya, perusahaan akan meningkatkan investasi di gas alam cair (LNG) yang dinilai lebih stabil dan ekonomis dalam jangka pendek.

Idemitsu Kosan, produsen minyak terbesar kedua di Jepang, juga mengambil langkah serupa. Presiden Direktur Noriaki Sakai mengatakan perusahaannya memangkas anggaran untuk hidrogen, amonia, dan bahan bakar sintetik dari 1 triliun yen menjadi sekitar 800 miliar yen untuk periode fiskal 2023–2030.

“Kami merasa momentum menuju dekarbonisasi agak melambat. Kami perlu mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel terhadap jalur dan garis waktu pencapaian netral karbon pada 2050,” ujar Sakai.

Fenomena serupa juga terjadi secara global. Pada Februari lalu, BP memangkas belanja untuk energi terbarukan dan solusi rendah karbon, sambil menaikkan anggaran tahunan untuk minyak dan gas. Sementara itu, Equinor dari Norwegia juga mencabut target investasinya untuk energi bersih tahun 2030.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement