REPUBLIKA.CO.ID, JENA — Tim ilmuwan internasional yang dipimpin Markus Reichstein dan Vitus Benson dari Max Planck Institute for Biogeochemistry mengembangkan konsep sistem peringatan dini berbasis kecerdasan buatan (AI). Penelitian ini bertujuan untuk membantu lembaga kemanusiaan dan penanggulangan bencana menghadapi cuaca ekstrem seperti kekeringan dan hujan deras.
Penelitian yang dipublikasikan di Nature Communications ini menandai lompatan penting dalam pemanfaatan AI untuk memprediksi dampak bencana dengan presisi tinggi. Sistem ini memungkinkan distribusi sumber daya yang lebih terarah dan efisien, sekaligus memberi waktu lebih panjang untuk tindakan pencegahan. Reichstein mengatakan selama ini sistem peringatan dini hanya dirancang untuk jangka pendek, dari beberapa pekan hingga beberapa bulan.
“Namun, kita juga harus mulai berpikir strategis untuk jangka panjang — hingga puluhan tahun — agar bisa merancang kebijakan pencegahan yang berdampak luas," katanya seperti dikutip dari situs resmi Max Planck Institute, Sabtu (28/6/2025).
Sistem ini tidak hanya memberi informasi untuk menyesuaikan infrastruktur atau merelokasi permukiman, tapi juga membantu sektor pertanian dan kehutanan menyesuaikan diri dengan menanam varietas tahan kekeringan. Pendekatan AI memungkinkan prediksi dampak bencana hingga skala 20 meter, mencakup tiap ladang atau kebun. Ini dimungkinkan melalui pemanfaatan data dari satelit Copernicus, yang kemudian dipelajari AI untuk memahami pola dampak cuaca ekstrem pada wilayah dengan karakteristik geologis dan ekologis serupa.
“Model iklim konvensional tidak bisa memperkirakan secara akurat dampak cuaca ekstrem karena terlalu banyak faktor lokal yang memengaruhi, seperti jenis tanah, vegetasi, dan topografi,” ujar Reichstein.
Timnya berhasil memprediksi dampak kekeringan terhadap berbagai ekosistem, sementara kelompok peneliti lain mengembangkan algoritma untuk memprediksi efek curah hujan ekstrem. Sistem ini dirancang dalam enam modul, mulai dari pengukuran dampak cuaca ekstrem beresolusi tinggi secara spasial dan temporal, prediksi cuaca presisi, proyeksi dampak ekologis dan ekonomi, hingga metode komunikasi dan psikologis agar peringatan bisa dipahami dan ditindaklanjuti secara efektif.
“Prediksi saja tidak cukup, kita harus memastikan peringatan tersebut dipahami, dianggap serius, dan diubah menjadi tindakan — baik di tingkat individu maupun kebijakan," kata Reichstein.
AI juga berperan penting dalam aspek komunikasi, seperti menyampaikan peringatan melalui suara, gambar, dan visualisasi dampak. Tujuan jangka panjang dari proyek ini adalah menciptakan sistem peringatan yang mampu mengenali dampak berbagai bencana cuaca ekstrem secara global, memberikan peringatan efektif, dan bahkan menyarankan langkah-langkah mitigasi.
Namun, tantangan besar tetap ada, salah satunya adalah kebutuhan akan explainability atau kemampuan menjelaskan keputusan yang dibuat AI. “AI hari ini masih bergantung pada korelasi statistik, bukan hubungan sebab-akibat, kita butuh AI yang bisa memahami kondisi fisik yang mendasari peristiwa cuaca ekstrem," kata Benson.
Sebagai langkah awal, tim di Max Planck Institute tengah mengembangkan aplikasi peringatan dini yang dapat diakses publik, termasuk masyarakat di negara berkembang. “Peringatan dini di negara-negara Global South masih bersifat umum. Kami ingin membuat informasi yang berskala kecil bisa diakses semua orang,” ujar Benson. Dengan pendekatan ini, AI tak hanya menjadi alat analisis, tapi juga pendukung pengambilan keputusan strategis untuk menghadapi dampak krisis iklim yang makin tak terduga.