Senin 30 Jun 2025 19:28 WIB

Praktik ESG Tambang Nikel di Indonesia Dinilai Belum Memadai

Permintaan pasar global terhadap praktik tambang yang bertanggung jawab meningkat.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Foto udara areal pasca tambang nikel yang sebagian telah di reklamasi di Kecamatan Motui, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Kamis (8/2/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Foto udara areal pasca tambang nikel yang sebagian telah di reklamasi di Kecamatan Motui, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Kamis (8/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penerapan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) di sektor mineral kritis Indonesia dinilai masih lemah dan belum mendorong perubahan signifikan. Lemahnya komitmen ESG berisiko memperbesar dampak lingkungan, memperburuk kondisi masyarakat terdampak, dan melemahkan transparansi industri.

Policy Strategist CERAH, Al Ayubi, menyebut praktik ESG di industri tambang dan smelter nikel di Indonesia masih jauh dari memadai. Ia menyoroti tingginya emisi smelter nikel yang beroperasi di Indonesia, dengan rata-rata 58,6 ton CO₂ per ton nikel. Angka ini jauh melampaui emisi smelter milik BHP Nickel West di Australia yang hanya 11 ton CO₂ per ton nikel.

Baca Juga

Ia juga mengungkapkan kasus pencemaran sumber air di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara akibat aktivitas tambang nikel. Dari aspek keselamatan kerja, tercatat 93 kecelakaan di industri smelter nikel sepanjang 2015–2023.

Meski begitu, Ayubi menilai peningkatan standar ESG bisa menjadi alat efektif untuk menekan dampak lingkungan dan sosial. Ia mendorong agar pemerintah menetapkan ambang batas ESG yang ketat dan menjadikannya dasar dalam pemberian insentif atau perizinan kepada perusahaan.

“Insentif fiskal dan perizinan sebaiknya hanya diberikan kepada proyek yang memenuhi ambang batas ESG yang jelas, seperti penggunaan energi bersih, perlindungan hak masyarakat adat, keterlibatan komunitas lokal, dan rehabilitasi lingkungan. Standar ESG harus menjamin distribusi manfaat yang adil dan mencegah konflik, bukan sekadar melegitimasi proyek,” ujarnya dalam diskusi Dilema Nikel dan Transisi Energi, Senin (30/6/2025).

Direktur Djokosoetono Research Center Universitas Indonesia (DRC UI), Patricia Rinwigati, menegaskan pentingnya keseragaman standar ESG di semua level perusahaan, baik besar maupun kecil. Menurutnya, pemerintah harus mengawal implementasi ESG secara serius, termasuk melalui regulasi yang bersifat mengikat.

“Penetapan standar ESG perlu melalui kajian menyeluruh dengan kriteria yang jelas. Harus ada integrasi antara hukum nasional dan standar internasional, serta fokus pada perlindungan masyarakat terdampak. Sistem pelaporan dan pengawasan juga harus dibangun secara komprehensif dengan pemanfaatan teknologi,” katanya.

Community Outreach Coordinator untuk Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA), Andre Barahamin, menambahkan bahwa salah satu prinsip penting dalam ESG adalah Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), termasuk hak masyarakat untuk menolak proyek di wilayahnya (right to say no).

Menurut Andre, penerapan ESG yang baik tidak hanya melindungi masyarakat, tapi juga mengurangi potensi konflik dan penundaan proyek yang dapat merugikan bisnis.

“Jika perusahaan mematuhi standar ESG seperti IRMA, maka penerimaan pasar akan lebih besar, reputasi di rantai pasok global membaik, dan perusahaan memiliki perangkat mitigasi untuk menghormati serta melindungi hak masyarakat adat dan komunitas lokal,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa permintaan pasar global terhadap praktik tambang yang bertanggung jawab terus meningkat, terutama untuk sumber mineral kritis. Karena itu, implementasi ESG harus menjadi tolok ukur kinerja industri dalam memitigasi risiko pelanggaran HAM, degradasi lingkungan, dan konflik berkepanjangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement