REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Populasi orangutan Tapanuli, kera besar paling langka di dunia yang hanya hidup di Ekosistem Batang Toru, kini diperkirakan tinggal 577 hingga 760 individu. Fragmentasi habitat akibat alih fungsi lahan menempatkan satwa ini pada status sangat kritis.
Untuk menjawab ancaman itu, lembaga konservasi berbasis sains, Konservasi Indonesia (KI) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan kajian kesesuaian habitat di dua koridor, Bulu Mario dan Aek Malakkut. Hasilnya dipresentasikan dalam Konsultasi Publik Kajian Kelayakan Koridor di Aula Bappeda Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, akademisi, swasta, dan pemangku kepentingan lainnya.
Kajian terbaru menegaskan kedua koridor berperan penting dalam memulihkan konektivitas hutan Batang Toru. Dari analisis vegetasi, topografi, penggunaan lahan, kondisi sosial-ekonomi, hingga kelembagaan lokal, koridor Bulu Mario dinilai memiliki tingkat kesesuaian habitat lebih tinggi dibanding Aek Malakkut. Namun keduanya tetap strategis untuk mengurangi interaksi negatif manusia-satwa dan mencegah kepunahan.
Masyarakat sekitar mendukung pembentukan koridor, dengan catatan aktivitas agroforestri tetap diperbolehkan. Sundaland Program Director Konservasi Indonesia, Jeri Imansyah berharap kajian ini dapat memberikan solusi konservasi yang lebih efektif di Ekosistem Batang Toru.
"Data dan rekomendasi yang sudah disusun diharapkan menjadi rujukan bersama dalam menyeimbangkan ekologi dan ekonomi masyarakat. Orangutan Tapanuli bukan hanya warisan alam Sumatra Utara, tetapi juga simbol keseimbangan ekosistem yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat,” kata Jeri dalam pernyataannya, Selasa (9/9/2025).
Hasil kajian merekomendasikan perluasan cakupan kedua koridor. Luas koridor Bulu Mario diusulkan naik dari 347,3 hektare menjadi 685 hektare, dengan kesesuaian habitat mencapai 94,24 persen. Koridor Aek Malakkut direkomendasikan diperluas dari 802,8 hektare menjadi 917,7 hektare, dengan kesesuaian habitat 87,58 persen.
Selain itu, KI dan BRIN menilai perlunya forum multipihak dengan dasar hukum dan pendanaan yang jelas untuk memperkuat tata kelola koridor. Skema imbal jasa lingkungan melalui agroforestri dan ekowisata juga disarankan guna menghadirkan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekaligus menjaga habitat orangutan Tapanuli.
Wakil Bupati Tapanuli Selatan, Jafar Syahbuddin Ritonga mengapresiasi kajian tersebut. “Kami berkomitmen mendukung pembangunan koridor ekologis sebagai langkah penting yang sejalan dengan konservasi dan pembangunan daerah,” ujarnya mewakili Bupati Gus Irawan Pasaribu.
Sejak 2017, Pemkab Tapanuli Selatan telah menetapkan empat koridor orangutan melalui Perda No. 5/2017, yakni Hutaimbaru, Silima-lima, Bulu Mario, dan Aek Malakkut. Namun Bulu Mario dan Aek Malakkut dianggap membutuhkan penguatan khusus karena tingkat kelayakannya lebih rendah dibanding dua koridor lainnya.
Melalui konsultasi publik ini, KI dan BRIN berharap hasil kajian dapat menjadi dasar advokasi agar koridor diakui dalam kebijakan tata ruang. Sinergi antara pemerintah, masyarakat, lembaga penelitian, organisasi sipil, dan sektor swasta diharapkan menjadikan koridor ekologis Batang Toru instrumen kunci untuk melestarikan orangutan Tapanuli — warisan alam Sumatra Utara sekaligus penopang kehidupan masyarakat di Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, hingga Kota Sibolga.