Ahad 21 Sep 2025 09:00 WIB

WMO: Hanya Sepertiga Sungai Dunia dalam Kondisi Normal Tahun Lalu

Krisis iklim sebabkan kekeringan ekstrem dan banjir besar di berbagai kawasan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolandha
Puluhan warga mencuci pakaian di aliran Sungai Ciberang di Desa Bungur Mekar, Lebak, Banten, Ahad (3/8/2023). Menurut penelitian, hanya sepertiga daerah aliran sungai yang normal di dunia.
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
Puluhan warga mencuci pakaian di aliran Sungai Ciberang di Desa Bungur Mekar, Lebak, Banten, Ahad (3/8/2023). Menurut penelitian, hanya sepertiga daerah aliran sungai yang normal di dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat tahun lalu hanya sepertiga daerah aliran sungai di dunia yang berada dalam keadaan normal. Krisis iklim membuat banyak wilayah mengalami kekeringan ekstrem atau banjir besar, bahkan ada yang menghadapi keduanya sekaligus.

Gangguan pada siklus air alami ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam kehidupan manusia. Ilmuwan memperingatkan kerugian yang ditimbulkan bisa mencapai miliaran dolar AS, dengan dampak berupa kelangkaan pangan, panen gagal, hingga lonjakan harga bahan makanan di kawasan yang sudah rapuh secara sosial dan ekonomi.

Baca Juga

Direktur Divisi Hidrologi, Air, dan Kriosfer WMO, Stefan Uhlenbrook, menyebut kondisi ini sangat “genting”. Tahun lalu menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55 derajat Celsius di atas masa praindustri.

Sungai Amazon, paru-paru air terbesar di dunia, dilanda kekeringan parah sepanjang Juli hingga September. Amerika Utara, Afrika bagian selatan dan tenggara, serta Meksiko turut merasakan paceklik air, sementara Eropa Tengah, Rusia, Pakistan, dan India utara justru diguyur banjir hebat.

Di Afrika, banjir tropis menewaskan 2.500 orang dan membuat lebih dari 4 juta orang kehilangan tempat tinggal, menghancurkan jalan dan infrastruktur vital. Kontrasnya ekstrem iklim juga terlihat di Brasil: bagian selatan negara itu terendam banjir, sementara Amazon kering kerontang. Dalam waktu bersamaan, gletser dunia mencatat kehilangan massa tiga tahun berturut-turut—dari Svalbard, Skandinavia, hingga Asia utara—setara dengan kenaikan 1,2 milimeter permukaan laut.

“Di sejumlah kawasan, tutupan salju hilang, sementara puncak pencairan salju datang lebih awal. Flora dan fauna kehilangan waktu kritis untuk mendapatkan air,” ujar Uhlenbrook seperti dikutip The Guardian.

Pemerintah dapat mengambil berbagai langkah untuk mengurangi dampak dari perubahan ekstrem dalam siklus air. Termasuk segera memangkas emisi gas rumah kaca; meningkatkan penyimpanan air dengan membangun waduk atau memulihkan lahan basah yang berfungsi sebagai spons untuk menahan air agar dapat digunakan saat kekeringan dan mengurangi dampak banjir; serta mendorong perubahan pada teknik pertanian untuk memanfaatkan air yang tersedia secara maksimal.

Sistem peringatan dini juga dapat menyelamatkan nyawa saat cuaca ekstrem melanda, dan kerja sama antarpemerintah dapat meningkatkan kesiapsiagaan. Namun, penulis laporan tersebut memperingatkan pemerintah gagal bertindak dalam isu-isu ini.

“Hal ini tidak mendapatkan perhatian politik yang memadai. Investasi dalam kesiapsiagaan akan memberikan hasil bagi masyarakat. Pemerintah harus melihat ini sebagai investasi yang berharga,” kata Uhlenbrook.

“Jika kita tidak mengambil tindakan proaktif sekarang, ini akan menelan biaya lebih besar di masa depan,” tambah Lucy Barker, analis senior di UK Centre for Ecology and Hydrology.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement