REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Badan Lingkungan Hidup Uni Eropa (EEA) memperingatkan krisis iklim dan degradasi lingkungan kini mengancam langsung sumber daya alam yang menopang ekonomi kawasan. Dalam laporan Europe’s Environment 2025 yang dirilis Senin (29/9/2025), EEA menyebut keanekaragaman hayati Eropa terus tergerus akibat pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan, khususnya di sektor pangan.
Lebih dari 80 persen habitat yang dilindungi berada dalam kondisi buruk karena eksploitasi berlebihan, polusi, dan serangan spesies invasif. Sumber daya air juga menghadapi tekanan berat.
Direktur Eksekutif EEA Leena Yla-Mononen menegaskan Eropa sangat bergantung pada sumber daya alam untuk keamanan ekonominya, yang kini terancam langsung oleh perubahan iklim dan degradasi lingkungan. “Jendela untuk bertindak secara bermakna semakin menyempit, dan konsekuensi dari penundaan kian nyata. Kami mendekati titik kritis, bukan hanya di ekosistem, tapi juga di sistem sosial dan ekonomi yang menopang masyarakat kami,” kata Mononen.
Eropa merupakan benua dengan tingkat pemanasan tercepat di dunia, menghadapi kekeringan yang kian parah serta cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi. Namun, upaya pengurangan emisi di kawasan ini masih terhambat perbedaan tajam antara negara anggota Uni Eropa. Pekan lalu, blok tersebut dipastikan melewatkan tenggat global untuk menetapkan target iklim baru.
Data Copernicus dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan 2024 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat, termasuk bagi Eropa. Tahun itu, benua biru mengalami banjir terluas sejak 2013 yang menewaskan sedikitnya 335 orang dan memengaruhi lebih dari 410 ribu jiwa. Kerugian akibat badai dan banjir mencapai lebih dari 18 miliar euro, dengan Eropa Barat menjadi kawasan paling terdampak.
Secara global, suhu bumi kini sekitar 1,3 derajat Celsius lebih tinggi dibandingkan era pra-industri, terutama akibat pembakaran energi fosil. “Setiap kenaikan sekecil apa pun dalam suhu memperbesar risiko terhadap kehidupan, ekonomi, dan planet kita,” kata Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo.