REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa transisi energi di Indonesia harus berpijak pada kepentingan nasional. Ia mengingatkan agar Indonesia tidak larut dalam tekanan global yang datang dari negara-negara maju.
Menurut Bahlil, konsep transisi energi yang berkembang saat ini merupakan hasil kesepakatan Paris Agreement yang didorong oleh negara-negara G7. Namun, sejumlah negara penggagas justru meninggalkan komitmen tersebut karena biaya penerapannya dinilai sangat tinggi.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
“Kita ini jangan terlalu asyik menari di gendang orang. Tapi kita, Indonesia, kan sudah terlanjur komitmen. Orang Indonesia ini terlalu baik. Kalau sudah sekali komitmen, ya komitmen. Jadi kita juga harus pintar-pintar, jangan sampai mereka memanfaatkan keluguan kita,” kata Bahlil di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Ia menyampaikan bahwa pemerintah tetap berkomitmen mempercepat penggunaan energi baru terbarukan (EBT) sebagaimana arahan Presiden Prabowo Subianto. Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, total kapasitas pembangkit mencapai 69,5 gigawatt, sebagian besar diarahkan untuk EBT.
“Baik dari matahari, kemudian air, angin, geotermal, termasuk waste to energy,” ujar Bahlil.
Ia menekankan, kebijakan transisi energi harus tetap realistis dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional. Pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara target pengurangan emisi dan ketahanan energi dalam negeri.
Bahlil menjelaskan bahwa pemerintah juga terus memperkuat kemandirian energi fosil. Produksi minyak mentah (lifting) nasional telah mencapai 607 ribu barel per hari, sesuai target APBN 2025.
“Alhamdulillah sekarang, per saat ini, lifting kita sudah naik menjadi 605 ribu sampai 607 ribu barel per hari. Jadi target APBN 2025 sudah tercapai,” tutur tokoh yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar itu.
Ia menguraikan tiga strategi utama untuk menjaga kedaulatan energi. Pertama, mengoptimalkan sumur-sumur tua melalui teknologi enhanced oil recovery (EOR). Kedua, mendorong percepatan proyek eksplorasi migas yang sempat tertunda. Ketiga, memperluas pemanfaatan energi alternatif seperti biodiesel dan etanol.
Bahlil menilai, transformasi ke biodiesel membuat impor solar turun drastis menjadi 4,9 juta ton per tahun dari konsumsi nasional sebesar 34–35 juta ton. Pemerintah kini juga menyiapkan program campuran etanol untuk bensin agar ketergantungan impor dapat dikurangi.
Ia menambahkan, pemerintah tengah mencari solusi terhadap tingginya ketergantungan impor LPG yang mencapai 7,2 juta ton per tahun. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan mendorong pengembangan gas C3 dan C4, serta hilirisasi batu bara untuk menghasilkan DME sebagai substitusi LPG.
View this post on Instagram