Kamis 13 Nov 2025 22:09 WIB

Persoalan Sampah Kian Mendesak

Total sampah Indonesia telah mencapai 34 juta ton.

Truk sampah mengangkut sebagian tumpukan sampah yang menggunung di tempat pembuangan sampah (TPS) Pasar Sederhana Kota Bandung, Kamis (13/11/2025). Tumpukan sampah terjadi di sejumlah TPS Kota Bandung mengakibatkan penyempitan jalan dan bau yang menyengat.
Foto: Edi Yusuf
Truk sampah mengangkut sebagian tumpukan sampah yang menggunung di tempat pembuangan sampah (TPS) Pasar Sederhana Kota Bandung, Kamis (13/11/2025). Tumpukan sampah terjadi di sejumlah TPS Kota Bandung mengakibatkan penyempitan jalan dan bau yang menyengat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Prasasti Center for Policy Studies menilai persoalan sampah di Indonesia telah bergerak jauh melampaui isu kebersihan dan kini memasuki ranah ekonomi, kesehatan publik, serta keberlanjutan lingkungan. Tingginya volume sampah yang tidak terkelola disebut menjadi ancaman serius, baik bagi masyarakat maupun bagi upaya mitigasi iklim.

“Sekitar 40 persen sampah nasional belum dikelola dengan baik. Lebih dari 80 persen di antaranya berakhir di pembakaran terbuka atau open dumping landfill. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan polusi, tetapi juga menjadi ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat dan iklim,” kata Research Director Prasasti Center for Policy Studies Gundy Cahyadi dalam diskusi bertajuk "Building a Circular Future" yang diselenggarakan PT TBS Energi Utama Tbk di Jakarta, Kamis (13/11/2025).

Baca Juga

Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK tahun 2024 menunjukkan total sampah Indonesia telah mencapai 34 juta ton. Jumlah tersebut, menurut ilustrasi yang disampaikan, setara dengan rangkaian gerbong kereta yang membentang dari Sabang hingga Merauke.

Gundy menjelaskan, terdapat tiga faktor utama yang memicu krisis sampah di Indonesia. Pertama, pertumbuhan penduduk yang meningkatkan volume sampah rumah tangga.

Kedua, perubahan pola konsumsi masyarakat menuju gaya hidup yang semakin consumer-driven, ditandai dengan penggunaan kemasan sekali pakai serta meningkatnya konsumsi layanan makanan instan dan pengantaran. Ketiga, keterbatasan infrastruktur dan sistem pengelolaan yang masih “tambal sulam”.

“Regulasi sebenarnya sudah ada, tapi implementasinya sering berhenti di tengah jalan. Banyak daerah bahkan belum memiliki sistem pengelolaan yang solid,” ujarnya.

Ia juga menyoroti ketimpangan layanan pengumpulan sampah, rendahnya investasi pada sektor lingkungan, serta lemahnya penegakan hukum sebagai hambatan struktural.

Meski demikian, Gundy melihat peluang ekonomi yang cukup besar. Dalam beberapa tahun terakhir, sektor pengelolaan sampah mulai menarik perhatian pelaku usaha dan investor sebagai bagian dari bisnis berkelanjutan dan penciptaan lapangan kerja hijau. Menurutnya, dengan intervensi yang tepat, krisis ini dapat berubah menjadi peluang ekonomi.

“Tantangan geografis Indonesia memang kompleks mulai dari logistik hingga biaya tinggi, tapi potensi ekonominya juga luar biasa. Pengelolaan sampah bisa menjadi pintu masuk menuju ekonomi sirkular dan transisi hijau,” kata dia.

Ia menegaskan bahwa solusi jangka panjang hanya dapat dicapai melalui sinergi pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Pendekatan kolaboratif, pemanfaatan teknologi, serta investasi pada rantai nilai daur ulang dinilai menjadi langkah kunci.

“Kalau ketiganya dapat bersinergi, tumpukan masalah ini bisa kita ubah menjadi tumpukan peluang. Sudah saatnya Indonesia dikenal bukan karena sampahnya, tapi karena solusinya,” ujar Gundy.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement