REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif lembaga think-tank SUSTAIN, Tata Mustasya menilai praktik pembelian pakaian bekas (thrifting) dapat menjadi bagian dari solusi persoalan sampah fesyen. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada konteks pelaksanaan.
Ia mengingatkan thrifting tidak otomatis menyelesaikan persoalan limbah dari industri fast fashion (fesyen skala besar) tanpa perubahan mendasar dalam sistem produksi. Menurut Tata, akar persoalan industri fesyen terletak pada model produksi yang boros dan bertumpu pada volume penjualan tinggi.
“Solusi yang lebih mendasar adalah perubahan cara produksi fashion secara global dan domestik untuk mulai beralih ke slow fashion,” katanya kepada Republika, Kamis (20/11/2025).
Konsep itu, kata dia, mencakup produksi dengan volume lebih rendah, kualitas tinggi, penerapan ekonomi sirkular, dan peningkatan kesadaran konsumen untuk meninggalkan pola konsumsi cepat. Ia menegaskan thrifting hanya membantu jika menjadi pengganti pembelian pakaian baru. Jika justru menjadi tambahan konsumsi, maka kontribusinya terhadap pengurangan sampah fesyen menjadi nihil.
“Thrifting tidak akan menjadi solusi jika dia menjadi ‘additional’ dan bukan ‘substitusi’,” katanya.
Tata menyebut thrifting secara prinsip merupakan bagian dari praktik reuse dalam ekonomi sirkular. Namun ia menyoroti dominasi produk thrifting impor yang justru tidak mengurangi persoalan sampah fesyen dalam negeri.
Indonesia, menurutnya, menghadapi timbunan limbah pakaian yang besar, mencapai sekitar 2,3 juta ton per tahun, dan sebagian besar belum dapat didaur ulang.
Dalam konteks tersebut, Tata menilai praktik thrifting ideal seharusnya mengutamakan penggunaan pakaian bekas domestik. Selain lebih efektif menangani limbah dalam negeri, pendekatan ini juga dinilai lebih baik bagi lingkungan dan lebih melindungi pelaku pasar lokal.
“Melimpahnya thrifting impor di satu sisi bisa menurunkan thrifting domestik yang justru menambah permasalahan limbah fesyen di Indonesia,” ujarnya.
Tata menilai sebagian besar praktik thrifting saat ini masih didorong kepentingan ekonomi dan tren gaya, bukan perubahan paradigma konsumsi. “Saya sendiri melihat thrifting apalagi impor lebih banyak didorong motif ekonomi dari sisi pengimpor dan pedagang, dan ‘style’ bagi pengguna karena menggunakan baju branded walaupun bekas, misalnya. Belum ke perubahan produksi dan konsumsi yang lebih sustainable,” ujarnya.