Senin 16 Oct 2023 00:36 WIB

Bahan Bakar Biomassa Penerbangan Terbukti Pangkas Emisi Karbon Hingga 80 Persen

Bahan bakar non fosil pada penerbangan diharapkan digunakan menyeluruh di 2050.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Bahan bakar penerbangan biomassa menawarkan keuntungan dan berkelanjutan untuk tekan emisi karbon.
Foto: www.freepik.com
Bahan bakar penerbangan biomassa menawarkan keuntungan dan berkelanjutan untuk tekan emisi karbon.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim ilmuwan baru-baru ini melakukan pengujian ekstensif untuk mengevaluasi emisi yang timbul dari bahan bakar penerbangan yang berkelanjutan. Hasilnya, ditemukan penurunan yang substansial dibandingkan dengan bahan bakar jet tradisional.

Studi yang dilakukan para peneliti dari National Center for Atmospheric Science (NCAS) dan bekerja sama dengan University of Manchester, melibatkan penilaian komparatif antara bahan bakar jet standar serta berbagai campuran bahan bakar penerbangan berkelanjutan, termasuk yang berasal dari Neste (produsen terbesar di dunia untuk diesel terbarukan dan bahan bakar terbarukan).

Baca Juga

Emisi dipantau secara ketat dari dua mesin yang berbeda. Pertama, yang digunakan pada pesawat BAe-146-301 milik FAAM Airborne Laboratory, dengan menggunakan fasilitas CFS Aero di Bandara Hawarden Inggris.

Pada tahun 2021, sektor penerbangan menyumbang lebih dari 2 persen emisi gas rumah kaca dunia. Namun, menurut penelitian tersebut, bahan bakar penerbangan berkelanjutan menunjukkan potensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang mengubah iklim, khususnya karbon dioksida, sebanyak 80 persen jika dibandingkan dengan bahan bakar jet konvensional.

Hasil penelitian menyoroti penurunan 45 persen dalam jumlah emisi karbon hitam ultrafine yang sangat kecil, sehingga berdampak secara langsung pada kualitas udara setempat. Selain itu, massa keseluruhan dari emisi ini adalah 80 persen lebih rendah untuk setiap kilogram bahan bakar penerbangan berkelanjutan yang dikonsumsi.

Peneliti yang berafiliasi dengan NCAS di University of Manchester, Paul I Williams, menekankan pentingnya memahami dampak dari bahan bakar alternatif sehubungan dengan pergeseran industri ke arah netralitas karbon.

"Studi ini sangat penting untuk memahami dampak-dampak ini dan memberikan kemampuan bagi Inggris untuk melakukan penilaian di masa depan seiring dengan dikembangkannya bahan bakar dan teknologi baru,” kata Williams seperti dilansir Tech Time, Senin (16/10/2023).

Bahan bakar penerbangan berkelanjutan diproduksi dari biomassa terbarukan dan bahan residu, yang menawarkan pengganti langsung untuk bahan bakar jet yang diekstrak dari minyak mentah.

Bahan bakar nabati ini dikombinasikan dengan bahan bakar jet konvensional untuk memastikan kompatibilitas dengan semua pesawat yang ada, termasuk model-model seperti pesawat FAAM. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa semua bahan bakar jet sepenuhnya sintetis dan berasal dari sumber bahan bakar non-fosil pada tahun 2050.

Spektrum emisi dari pembakaran bahan bakar nabati penerbangan campuran dan bahan bakar HEFA diukur melalui pengujian mesin di darat. Pengujian ini memfasilitasi perbandingan emisi secara menyeluruh, antara bahan bakar yang berasal dari sumber berkelanjutan dan yang tidak berkelanjutan.

Emisi berbagai gas dan partikel, termasuk karbon dioksida, karbon monoksida, nitrogen oksida, dan partikel mikro tersuspensi, dievaluasi secara komprehensif. Emisi diukur secara langsung di dalam knalpot mesin dengan menggunakan peralatan dan metodologi khusus.

Williams menggarisbawahi penurunan penting dalam emisi materi partikulat yang tidak mudah menguap, yang secara langsung berdampak pada kualitas udara lokal di dekat bandara. Penurunan ini diamati pada kecepatan rendah dan kecepatan jelajah, yang menunjukkan potensi manfaat dalam hal pembentukan contrail dan berkurangnya dampak iklim.

"Pada kecepatan jelajah, kami menemukan bahwa jumlah materi partikulat yang tidak mudah menguap yang diemisikan dari pembakaran bahan bakar penerbangan berkelanjutan juga lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika pesawat terbang menjelajah, jumlah materi partikulat yang tidak mudah menguap akan lebih sedikit, yang pada gilirannya berdampak pada pembentukan contrail. Hal ini dapat berpotensi mengurangi efek pemanasan iklim dari penerbangan secara global," kata Williams.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement