Senin 30 Oct 2023 09:30 WIB

Melestarikan Gajah Sumatra di Blok Migas Terbesar Indonesia

Sekitar Rp 2 miliar yang dialokasikan PHR untuk memenuhi kebutuhan pakan 15 gajah.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Lida Puspaningtyas
Kegiatan konservasi gajah Sumatera di Taman Hutan Rakyat Sultan Syarif Hasyim, Minas, Kabupaten Siak, Riau. Konservasi gajah ini dilakukan dengan dukungan CSR PT Pertamina Hulu Rokan - SKK Migas bersama BBKSDA Riau dan Rimba Satwa Foundation sejak tahun 2021.
Foto:

Penetrasi Teknologi  

Terbaru, terhadap gajah-gajah liar yang ada, PHR bersama Rimba Satwa Foundation (RSF) melakukan penetrasi teknologi Global Positioning System atau GPS Collar pada gajah liar yang bermain di sekitaran Tahura Minas. Perangkat teknologi ini dipasang pada leher gajah untuk dapat mengetahui keberadaan mereka, terutama ketika kawanan gajah mulai mendekat ke permukiman warga.

“Ini menjadi early warning system, di mana posisi gajah-gajah itu sekarang bisa dilihat. Coming soon harimau akan dipasang, tapi masih dalam tahap studi,” katanya.

Pada kesempatan sama, Ketua Rimba Satwa Foundation, Zulhusni Syukri, menjelaskan, harga satu unit GPS Collar cukup mahal, yakni berkisar Rp 75 juta. Itu belum termasuk dengan biaya pemasangan satu unit yang bisa menghabiskan Rp 80 juta.

Mahalnya biaya pemasangan karena memerlukan obat bius, transportasi, tenaga ahli medis, serta keperluan lainnya yang dibutuhkan untuk melancarkan pemasangan GPS Collar pada gajah liar. Bila ditotal, biaya pembelian hingga pemasangan bisa menghabiskan Rp 150 juta.

Hingga saat ini dari 11 gajah liar, tujuh gajah telah dipasangi GPS Collar.“Lima di antaranya dukungan oleh PHR,” kata Husni kepada Republika

Ia pun menjelaskan, pemasangan GPS Collar menyentuh tiga aspek. Yakni perlindungan terhadap gajah, masyarakat lokal, serta habitat gajah.

GPS Collar melaporkan keberadaan gajah setiap dua jam sekali. Ketika gajah terdeteksi mendekat ke permukiman, petugas akan memberi tahu warga setempat untuk mempersiapkan mitigasi demi meminimalisasi kerugian akibat gajah.

 

Sementara itu, masyarakat juga diedukasi tentang cara tepat mencegah gajah masuk ke permukiman tanpa harus melukai gajah-gajah liar yang mulai langka.

Di saat yang bersamaan, dilakukan program Argoforestry. Sebuah gerakan penanaman aneka tumbuhan yang tidak disukai gajah di sekitaran permukiman namun bernilai ekonomis bagi masyarakat.

Seperti misalnya, pohon jeruk, alpukat, hingga jengkol yang hasilnya bisa dijual masyarakat. Tanaman-tanaman itu tak akan dirusak oleh gajah sehingga sekaligus menjadi dinding pertahanan warga dari gajah. Total luasan penanaman sejauh ini telah mencapai 224 hektare yang tersebar di sejumlah wilayah.

“Sementara untuk habitat gajah, ditanami rumput odot di wilayah perlintasan untuk pakan. Ini tidak akan habis ketika dimakan, jadi pas gajah kembali lagi, ketersediaan pakan masih ada,” ujarnya.

Meski tergolong baru, Zulhusni mengungkapkan, penggunaan GPS Collar mampu menekan kerugian masyarakat hingga 60 persen tanpa menganggu kehidupan habitat gajah. Tentu saja, karena kini warga bisa mengetahui secara cepat keberadaan gajah sehingga mitigasi bisa dilakukan dengan optimal.

Pengendali Ekosistem Hutan, BBKSDA Riau, Mukti Ali, mengakui sulit baginya untuk bisa mengawasi populasi hewan seorang diri. Oleh karenanya, sangat dibutuhkan adanya mitra strategis yang turun tangan dalam mendukung pelestarian di hutan.

“Terus terang, kami tidak bisa sendiri mengawasinya harus ada mitra. Kami mengapresiasi sekali PHR yang sudah sangat peduli,” katanya.

Ia memastikan, kebutuhan pakan gajah-gajah jinak selalu terpenuhi. Setiap harinya, gajah mengonsumsi aneka pakan sebanyak 15 persen dari total bobot tubuh. Bila satu ekor gajah punya berat 1 ton, maka sedikitnya harus tersedia 150 kg pakan setiap hari.

Sementara bagi gajah-gajah liar yang bermain di sekitaran hutan rakyat, Ali pun memastikan tak akan lepas dari kontrol BBKSDA sembari seluruh gajah dapat dipasang GPS Collar.

Yanin Kholison, Kepala Departemen Formalitas dan Komunikasi, menambahkan, konservasi gajah ini merupakan bentuk konkret program lingkungan oleh industri hulu migas, khususnya Pertamina Hulu Rokan.

Program ini juga selaras dengan empat aspek penting dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s) sekaligus sejalan dengan apsek Indonesian Oil and Gas 4.0 (IOG) 4.0 yakni keberlanjutan lingkungan.

Dirinya pun berharap program serupa bisa menjadi contoh bagi wilayah lain yang punya persoalan sama. Terutama untuk memperbaiki interaksi negatif antara satwa liar dengan warga lokal.

“Wilayah kerja migas lain yang punya masalah sama bisa menjadikan konservasi ini sebagai benchmarking. Selagi ada minyak dan ada gajah, tentu ada program CSR,” kata Yanin.

photo
Kegiatan konservasi gajah Sumatera di Taman Hutan Rakyat Sultan Syarif Hasyim, Minas, Kabupaten Siak, Riau. Konservasi gajah ini dilakukan dengan dukungan CSR PT Pertamina Hulu Rokan - SKK Migas bersama BBKSDA Riau dan Rimba Satwa Foundation sejak tahun 2021. - (Republika/Dedy Darmawan)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement