Selasa 14 Nov 2023 15:25 WIB

Tanam 1 Triliun Pohon Baru Dianggap tidak Bisa Atasi Perubahan Iklim, Mengapa?

Aksi tanam pohon sudah digencarkan di dunia sejak 2019 lalu.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Menanam pohon di lokasi baru dianggap para ilmuwan bukan cara efektif untuk mengatasi perubahan iklim.
Foto: www.freepik.com
Menanam pohon di lokasi baru dianggap para ilmuwan bukan cara efektif untuk mengatasi perubahan iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menanam pohon secara massal telah dianggap sebagai solusi singkat untuk mengatasi perubahan iklim. Hype untuk menanam pohon dimulai pada 2019, ketika sebuah penelitian mengklaim bahwa Bumi memiliki ruang untuk 1 triliun pohon lagi. Pohon-pohon ini secara teoritis dapat menyerap hampir sepertiga dari karbon dioksida (CO2) yang menyebabkan pemanasan global.

Ketika laporan tersebut dipublikasikan, para penulis menyatakan bahwa penanaman pohon adalah solusi yang paling efektif untuk mengatasi perubahan iklim. Klaim tersebut menjadikannya berita utama dan banyak diliput di media pada tahun itu, serta memicu kampanye penanaman pohon.

Baca Juga

Namun demikian, makalah itu menuai kritik dari para ilmuwan lain. Beberapa ilmuwan menuduh bahwa analisis tersebut, yang mengandalkan citra satelit, tidak realistis dan mengasumsikan bahwa hutan baru dapat tumbuh di tempat yang tidak dapat ditumbuhi, seperti padang rumput atau sabana, serta mengabaikan peran hutan yang heterogen.

Banyak ilmuwan juga mengatakan bahwa makalah tersebut memungkinkan terjadinya greenwashing dan memberikan perlindungan kepada para pencemar untuk terus mengeluarkan gas rumah kaca - selama mereka mensponsori penanaman pohon.

“Itu adalah masa yang sangat sulit. Pesan dari makalah itu terlalu disederhanakan oleh media,” kata ahli ekologi di ETH Zurich, Thomas Crowther, selaku pemimpin studi dari makalah tersebut pada 2019 lalu.

Sekarang, dia bersama lebih dari 200 ilmuwan kembali dengan analisis terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature pada Senin. Kali ini, mereka menggabungkan data satelit dengan pengukuran keanekaragaman hayati di lapangan untuk memperkirakan bahwa di bawah skenario restorasi yang lebih realistis, hutan dapat menangkap lebih dari 220 gigaton karbon - jumlah yang kurang lebih setara dengan seluruh emisi CO2 terkait energi global dari tahun 2015 hingga 2021.

Crowther dan timnya menemukan bahwa melestarikan hutan yang ada dan membiarkannya tumbuh kembali akan mencapai sebagian besar potensi penyimpanan karbon hutan, tidak hanya dengan menanam jutaan pohon baru. Yang terpenting, keuntungan tersebut hanya dapat direalisasikan jika dibarengi dengan pengurangan emisi.

"Ini adalah area-area di mana kita dapat menangkap karbon, jika dibarengi dengan melakukan dekarbonisasi dan melakukannya dengan sistem yang sehat dan beragam,” ungkap Crowther seperti dilansir The Messenger, Selasa (14/11/2023).

Dibandingkan dengan penelitian Crowther pada tahun 2019, perkiraan terbaru ini dinilai sebagai angka yang jauh lebih masuk akal. Simon Lewis, seorang ahli ekologi di University College London yang tidak terlibat dalam penelitian, mengatakan bahwa ada banyak perdebatan dan gertakan tentang apa yang dapat dilakukan pohon untuk lingkungan.

“Namun, hanya ada jumlah lahan yang terbatas yang dapat dijadikan hutan, yang membatasi kemampuan pohon untuk menyimpan karbon. Kenyataannya, kita perlu mengurangi emisi bahan bakar fosil, mengakhiri deforestasi, dan memulihkan ekosistem untuk menstabilkan iklim,” tegas Lewis.

Lantas haruskah kita menanam lebih banyak pohon? Menurut Crowther, tidak ada cara yang cepat dan mudah untuk memanfaatkan seluruh kapasitas penyimpanan karbon hutan.

"Saya ingin menekankan bahwa penyimpanan karbon bukan melalui penanaman pohon secara massal. Tetapi juga inisiatif apa pun yang memungkinkan masyarakat lokal untuk mengembalikan keanekaragaman hayati yang sehat,” kata Crowther.

Cara lain juga termasuk memberdayakan masyarakat adat setempat untuk melestarikan atau menghijaukan kembali daerah yang terdegradasi. Lalu membantu para petani untuk menanam lebih banyak pohon di lahan pertanian mereka, sebuah praktik yang dikenal sebagai wanatani. Juga dapat berarti menghubungkan fragmen-fragmen hutan dengan koridor alami.

“Yang terpenting, hal ini tidak berarti mencoba menanam pohon di ekosistem yang tidak dapat mendukungnya, seperti lahan basah atau padang rumput,” kata para peneliti.

Restorasi hutan bukanlah solusi cepat untuk mengatasi krisis iklim. Diperlukan waktu puluhan tahun bagi hutan untuk tumbuh kembali hingga mencapai potensi sepenuhnya sebagai penyimpan karbon, dan keberhasilannya bergantung pada dukungan dari masyarakat setempat.

Menurut Crowther, keberhasilan juga bergantung pada pengurangan emisi secara simultan. Planet yang memanas akan mengubah bentuk tempat pohon dapat tumbuh, dan pada akhirnya dapat mengurangi kemampuan mereka untuk menyimpan karbon.

"Jika Anda berniat menanam beberapa pohon supaya bisa leluasa menghasilkan emisi, Anda salah. Emisi yang terus meningkat pada akhirnya akan membunuh pohon-pohon itu melalui perubahan iklim. Jadi solusi yang sekarang harus dilakukan adalah yang bisa mencegah greenwashing,” tegas Crowther.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement