Selasa 21 Nov 2023 15:06 WIB

Dampak Perubahan Iklim Kian Terasa di Indonesia Timur

Hutan Adat di wilayah Indonesia Timut kerap alami kebakaran.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Guna mendorong keterlibatan suara lokal dalam aksi mitigasi iklim, koalisi CSO yang tergabung dalam aliansi Voices for Just Clime Action menggelar diskusi media di Cikini, Jakarta, Selasa (21/11/2023).
Foto: Republika/Gumanti
Guna mendorong keterlibatan suara lokal dalam aksi mitigasi iklim, koalisi CSO yang tergabung dalam aliansi Voices for Just Clime Action menggelar diskusi media di Cikini, Jakarta, Selasa (21/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim bukan lagi hanya sekadar omong kosong. Dampaknya kini semakin terasa di berbagai daerah dan lapisan masyarakat, tak terkecuali masyarakat adat di kawasan Indonesia Timur.

Kristian Hanggongu Wali, Pemuda Adat Wundut Kabupaten Sumba Timur, menceritakan bahwa kenaikan suhu bumi akibat perubahan iklim telah membuat hutan adat menjadi lebih sering mengalami kebakaran. Padahal, kata dia, hutan adat memiliki peran krusial sebagai sumber kehidupan sekaligus penghubung antar masyarakat adat dengan Sang Pencipta.

Baca Juga

“Intensitas kebakaran menjadi lebih sering, karena saya kira suhu Bumi semakin panas. Kejadian kebakaran ini tentu merugikan kami. Kami hutan itu sangat penting dan berarti bagi kami. Masyarakat adat sangat bertopang pada hutan,” kata Kristian dalam diskusi media yang diinisiasi Voice for Just Climate Action di Cikini, Jakarta, Selasa (21/11/2023).

Dampak perubahan iklim juga dirasakan oleh petani di Flores Timur. Maria Mone Soge, petani muda perempuan dari Flores Timur, mengatakan bahwa situasi iklim yang semakin tidak menentu telah membuat para petani gagal panen. Karena itulah, masyarakat di sana mulai didorong untuk mengonsumsi pangan alternatif karbohidrat lokal non beras.

“Jadi, peningkatan ketahanan masyarakat melalui sumberdaya lokal menjadi sangat penting sehingga kebijakan iklim harus mendukung petani, nelayan, perempuan, kelompok disabilitas, masyarakat adat, dan generasi muda di pedesaan,” kata Maria.

Sebagai petani muda yang tinggal di daerah, Maria mengaku ada banyak kendala yang dihadapinya ketika ingin beraksi melawan krisis iklim. Di antaranya tantangan bahasa, dana yang cukup besar untuk travel dan partisipasi, serta penggunaan bahasa jargon yang cukup kompleks dan berbagai akronim membatasi keterlibatan bermakna dari kelompok rentan.

“Seharusnya, platform multi-pihak di berbagai tingkatan (nasional, regional, global) perlu memberikan ruang bagi kita untuk menyampaikan keprihatinan kita dan mengembangkan solusi iklim yang tanggap terhadap kebutuhan lokal. Tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan dukungan pendanaan serta peningkatan kapasitas bagi komunitas dan pemangku kepentingan di tingkat lokal,” ujar Maria.

Merespon hal tersebut, Vincent Bureni dari C4Ledger-SSN, menegaskan bahwa keterlibatan masyarakat lokal dalam adaptasi dan mitigasi iklim sangatlah penting. Selain karena mereka termasuk kelompok rentan, masyarakat adat dan lokal juga dapat melestarikan hutan atau konservasi.

Ia pun mendorong pemerintah Indonesia untuk menggunakan momentum konferensi iklim PBB ke-28 (COP28) dan proses global stocktake (GST) untuk melibatkan Non-State Actors (NSAs) serta kelompok rentan dalam pembahasan lebih lanjut maupun kebijakan di tingkat negara, seperti pemutakhiran dokumen NDCs juga perencanaan di tingkat sub-nasional.

“Pemerintah jangan menjadikan masyarakat adat sebagai penonton saja, mereka harus dilibatkan. Suaranya harus didengar, dan diberi ruang sebesar-besarnya untuk ikut berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim,” terang Vincent Bureni dari C4Ledger-SSN.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement