Jumat 02 Feb 2024 22:22 WIB

Studi: Suhu Laut akan Terus Memanas Jika Suhu Bumi Melebihi 1,5 Celsius

Kondisi lautan ekstrem dengan suhu lebih hangat terjadi di 2023.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Laut (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Laut (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rekor suhu laut tertinggi yang teramati pada tahun 2023 dapat menjadi hal yang biasa, jika Bumi mencatatkan suhu yang lebih panas 3 derajat Celsius dari tingkat pra-industri. Hal ini merujuk pada studi baru yang dipublikasikan di Bulletin of the American Meteorological Society.

Sejak Maret 2023, Atlantik Utara mulai menunjukkan suhu yang sangat hangat, jauh melebihi suhu yang pernah terjadi dalam 40 tahun terakhir. Pada Agustus 2023, Atlantik Utara sekitar 1,4 derajat Celsius lebih hangat dari rata-rata 1982-2011.

Baca Juga

Analisis proyeksi model iklim menunjukkan bahwa kondisi lautan ekstrem pada 2023, mirip dengan apa yang diperkirakan oleh para ilmuwan sebagai rata-rata jika pemanasan global mencapai 3 derajat Celsius. Saat ini, suhu global telah meningkat sekitar 1,2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.

Studi yang dipimpin oleh Till Kuhlbrodt dari University of Reading ini menganalisis penyebab suhu laut yang memecahkan rekor pada tahun 2023. Ia mengatakan bahwa panas yang luar biasa di Atlantik Utara dan hilangnya es laut di Samudra Selatan pada tahun 2023 menunjukkan bahwa lautan membunyikan alarm.

“Kita harus segera memahami mengapa bagian lautan memanas dengan cepat sehingga kita bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi gangguan cuaca yang lebih sering terjadi di seluruh planet ini. Seberapa sering kita dilanda cuaca ekstrem seperti ini, akan tergantung pada pemahaman kita tentang apa yang mendorong Samudra Atlantik dan Samudra Selatan ke uncharted territory,” kata Kuhlbrodt seperti dilansir Phys, Jumat (2/2/2024).

Studi ini menyoroti bahwa ketidakseimbangan energi Bumi kemungkinan besar menjadi pendorong utama suhu lautan yang ekstrem. Karena Bumi saat ini menyerap lebih dari 1,9 watt per meter persegi lebih banyak energi matahari daripada yang dipancarkan kembali ke ruang angkasa sebagai panas. Di seluruh Bumi, dalam rentang waktu satu tahun, hal ini setara dengan sekitar 300 kali konsumsi tahunan energi listrik global.

Ketidakseimbangan ini telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir terutama karena gas-gas yang memerangkap panas dari aktivitas manusia. Peningkatan surplus energi ini mendorong pemanasan lautan, dengan lebih dari 90 persen kelebihan energi yang diakumulasikan oleh Bumi disalurkan ke lautan.

Sejak tahun 2016, Samudra Atlantik telah memanas lebih cepat daripada cekungan lautan lainnya dalam 100 meter lautan teratas. Peningkatan pemanasan Atlantik ini mungkin terkait dengan rekor rendahnya tingkat es laut di Samudra Selatan, menurut para peneliti.

Pemanasan Atlantik yang cepat ini bertepatan dengan penurunan tajam lapisan es laut yang mengelilingi Antartika. Pada tahun 2023, luas es laut musim dingin Antartika mencapai tingkat terendah sejak pemantauan satelit dimulai pada akhir tahun 1970-an.

Para peneliti menekankan perlunya mengukur seberapa besar dampak pemanasan Atlantik yang cepat terhadap tutupan es laut. Mengaitkan kondisi ekstrem samudra dan es laut dengan akurat akan memastikan model iklim dapat secara akurat memprediksi kondisi ekstrem di masa depan, yang akan menginformasikan kebijakan mitigasi dan langkah-langkah ketahanan di seluruh dunia.

"Kami membutuhkan lebih banyak data dari Atlantik untuk mengaitkan tren pemanasan dan hilangnya es dengan pergeseran pola arus laut, namun sinyal-sinyal tersebut menunjukkan adanya hubungan iklim yang tersembunyi di antara kedua kutub,” kata Kuhlbrodt.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement