Kamis 15 Feb 2024 18:30 WIB

Laju Deforestasi Global Sebabkan Peningkatan Polusi Merkuri  

Sekitar 10 persen emisi merkuri yang dilepaskan setiap tahun hasil deforestasi.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Gita Amanda
Indonesia jadi salah satu negara penyumbang deforestasi terbanyak.
Foto: Tangkapan Layar/VOA
Indonesia jadi salah satu negara penyumbang deforestasi terbanyak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar 10 persen emisi merkuri yang dilepaskan manusia ke atmosfer setiap tahunnya merupakan hasil dari deforestasi global, demikian menurut sebuah studi baru dari MIT.

Vegetasi dunia, dari hutan hujan Amazon hingga sabana di sub-Sahara Afrika, berperan sebagai penyerap polutan beracun dari udara. Namun, jika laju deforestasi tidak berubah atau bahkan semakin meningkat, para peneliti memperkirakan bahwa emisi merkuri akan terus bertambah.

Baca Juga

"Kita telah mengabaikan sumber merkuri yang signifikan, terutama di wilayah tropis," kata Ari Feinberg, mantan peneliti di Institute for Data, Systems, and Society (IDSS) dan penulis utama studi seperti dilansir Phys, Kamis (15/2/2024).

Hasil pemodelan yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa hutan hujan Amazon memainkan peran yang sangat penting sebagai penyerap merkuri, menyumbang sekitar 30 persen dari total penyerap merkuri di dunia. Oleh karena itu, menghentikan deforestasi di Amazon dapat memberikan dampak yang besar dalam mengurangi polusi merkuri.

Tim peneliti juga memperkirakan bahwa upaya reboisasi global dapat meningkatkan penyerapan merkuri tahunan sekitar 5 persen. Meskipun hal ini cukup signifikan, para peneliti menekankan bahwa reboisasi saja tidak dapat menggantikan upaya pengendalian polusi di seluruh dunia.

"Berbagai negara telah berupaya keras untuk mengurangi emisi merkuri, terutama negara-negara industri di bagian utara, dan untuk alasan yang sangat bagus. Namun, 10 persen dari sumber antropogenik global sangat besar, dan ada potensi untuk menjadi lebih besar di masa depan. Mengatasi emisi terkait deforestasi ini harus menjadi bagian dari solusi," kata penulis senior Noelle Selin, seorang profesor di IDSS dan Departemen Ilmu Bumi, Atmosfer, dan Planet MIT.

Selama beberapa dekade terakhir, para ilmuwan umumnya fokus mempelajari deforestasi sebagai sumber emisi karbon dioksida global. Namun demikian, merkuri belum mendapatkan perhatian yang sama, sebagian karena peran biosfer terestrial dalam siklus merkuri global yang baru saja diukur dengan lebih baik.

Daun tanaman menyerap merkuri dari atmosfer, dengan cara yang sama seperti menyerap karbon dioksida. Namun, tidak seperti karbon dioksida, merkuri tidak memiliki fungsi biologis yang penting bagi tanaman. Merkuri sebagian besar tetap berada di dalam daun sampai daun tersebut jatuh ke lantai hutan, di mana merkuri diserap oleh tanah.

Merkuri menjadi masalah serius bagi manusia jika berakhir di badan air, di mana merkuri dapat dimetilasi oleh mikroorganisme. Metilmerkuri, sebuah neurotoksin yang kuat, dapat diserap oleh ikan dan terakumulasi secara hayati melalui rantai makanan. Hal ini dapat menyebabkan tingkat metilraksa yang berisiko pada ikan yang dimakan manusia.

"Di dalam tanah, merkuri terikat jauh lebih erat dibandingkan jika merkuri disimpan di laut. Hutan melakukan semacam jasa ekosistem, yaitu menyerap merkuri untuk jangka waktu yang lebih lama," kata Feinberg, yang kini menjadi postdoc di Blas Cabrera Institute of Physical di Spanyol.

Dengan cara ini, hutan mengurangi jumlah metilraksa beracun di lautan. Banyak penelitian tentang merkuri yang berfokus pada sumber-sumber industri, seperti pembakaran bahan bakar fosil, pertambangan emas skala kecil, dan peleburan logam. Sebuah perjanjian global, Konvensi Minamata tahun 2013, menyerukan kepada negara-negara untuk mengurangi emisi yang dihasilkan oleh manusia. Namun, konvensi tersebut tidak secara langsung mempertimbangkan dampak deforestasi.

Para peneliti meluncurkan penelitian mereka untuk mengisi bagian yang hilang tersebut. Dalam penelitian sebelumnya, mereka telah membangun sebuah model untuk menyelidiki peran vegetasi dalam penyerapan merkuri. Dengan menggunakan serangkaian skenario perubahan penggunaan lahan, mereka menyesuaikan model untuk mengukur peran deforestasi.

Model transportasi kimiawi ini melacak merkuri dari sumber emisi ke tempat ia berubah secara kimiawi di atmosfer, dan pada akhirnya ke tempat ia diendapkan. Terutama melalui curah hujan atau penyerapan ke dalam ekosistem hutan.

Peneliti membagi bumi menjadi delapan wilayah dan melakukan simulasi untuk menghitung faktor emisi deforestasi di masing-masing wilayah, dengan mempertimbangkan elemen-elemen seperti jenis dan kerapatan vegetasi, kandungan merkuri dalam tanah, dan sejarah penggunaan lahan.

Namun, data yang akurat dan detail untuk beberapa wilayah sulit didapat. Misalnya, peneliti tidak memiliki data pengukuran dari Afrika tropis atau Asia Tenggara -dua wilayah yang mengalami deforestasi berat. Untuk mengatasi kesenjangan ini, mereka menggunakan model offline yang lebih sederhana untuk mensimulasikan ratusan skenario, yang membantu mereka meningkatkan estimasi ketidakpastian yang mungkin terjadi.

Mereka juga mengembangkan formulasi baru untuk emisi merkuri dari tanah. Formulasi ini menangkap fakta bahwa deforestasi mengurangi luas daun, yang meningkatkan jumlah sinar matahari yang mengenai tanah dan mempercepat pelepasan merkuri dari tanah.

Model ini membagi dunia menjadi kotak-kotak grid, yang masing-masing berukuran beberapa ratus kilometer persegi. Dengan mengubah parameter permukaan tanah dan vegetasi di kotak tertentu untuk mewakili skenario deforestasi dan reboisasi, para peneliti dapat menangkap dampaknya terhadap siklus merkuri.

Secara keseluruhan, mereka menemukan bahwa sekitar 200 ton merkuri dilepaskan ke atmosfer sebagai akibat dari deforestasi, atau sekitar 10 persen dari total emisi yang dihasilkan oleh manusia. Namun, di negara-negara tropis dan sub-tropis, emisi deforestasi mewakili persentase yang lebih tinggi dari total emisi. Sebagai contoh, di Brazil, emisi deforestasi mencapai 40 persen dari total emisi yang dihasilkan manusia.

Selain itu, masyarakat sering menyalakan api untuk mempersiapkan area hutan tropis untuk kegiatan pertanian, yang menyebabkan lebih banyak emisi dengan melepaskan merkuri yang disimpan oleh vegetasi.

"Jika deforestasi adalah sebuah negara, maka Indonesia akan menjadi negara penghasil emisi tertinggi kedua, setelah Cina, yang mengeluarkan sekitar 500 ton merkuri per tahun," tambah Feinberg.

Dan karena Konvensi Minamata saat ini menangani emisi merkuri primer, para ilmuwan dapat memperkirakan bahwa deforestasi akan menjadi bagian yang lebih besar dari emisi yang disebabkan oleh manusia di masa depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement