REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan pembangunan sektor lingkungan hidup dan kehutanan harus memegang teguh asas keberlanjutan dengan pilar Environmental, Social, dan Governance (ESG). Hal itu untuk menjawab tantangan kompleksitas isu lingkungan, permasalahan sosial, dan pemanfaatan ekonomi dalam pembangunan.
Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto menjelaskan, kompleksitas isu lingkungan saat ini, yang semula hanya sebatas permasalahan kerusakan lingkungan, kemudian berkembang menjadi permasalahan sosial dalam mengakses sumber daya alam dan memberi manfaat ekonomi bagi pembangunan.
“Sudah bukan saatnya lagi untuk membenturkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan kepentingan ekologi. Seluruh kepentingan harus dapat diakomodir secara harmonis untuk tujuan yang lebih besar lagi yaitu keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang tentunya diorkestrasikan oleh tata kelola lingkungan (environmental governance) yang baik,” kata Agus dikutip dari siaran persnya di Jakarta, Ahad (18/2/2024).
Agus menyebut, dalam konteks Pembangunan LHK, Pemerintah telah melakukan berbagai pendekatan berkelanjutan, mulai intervensi melalui regulasi, pengendalian dan pengawasan, penegakan hukum, peningkatan kapasitas, hingga pengembangan sistem inventarisasi dan pemantauan.
Berbagai pendekatan yang telah dikembangkan tersebut, diimplementasikan dengan berpedoman pada berbagai instrumen kebijakan, baik dalam bentuk instrumen regulasi pemerintah, maupun instrumen yang berlaku dalam skala global seperti antara lain Sustainable Development Goals (SDGs), UN-CBD, Convention on Biodiversity, Protokol Nagoya, dan Paris Agreement.
Sebagai contoh berupa indikator kinerja pembangunan sektor kehutanan, yang dapat ditunjukkan menjadi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor kehutanan.
"Yang salah satunya dengan ukuran pencapaian tingkat laju deforestasi hutan terendah dalam sejarah kehutanan Indonesia. Kemudian dalam konteks pemanfaatan hutan, adanya transformasi dari single-licensed yang utamanya hanya terfokus pada pemanfaatan hasil hutan kayu, menjadi skema Multi Usaha Kehutanan,” katanya.
Indikator lainnya, lanjut Agus adalah pemegang hak akses pemanfaatan hutan tidak hanya bagi korporasi, namun juga masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial. Hingga saat ini, KLHK telah mencatatkan hampir 1,3 juta Kepala Keluarga di Indonesia melalui 9.642 SK Persetujuan Perhutanan Sosial yang memperoleh akses legal untuk memanfaatkan 6,3 juta hektare kawasan hutan. Kemudian lebih dari 75 ribu Kepala Keluarga melalui 131 SK Hutan Adat juga telah memperoleh akses kelola 250 ribu hektare kawasan hutan.
KLHK juga mengapresiasi dukungan semua pihak, termasuk dunia usaha, yang telah secara signifikan membantu pengelolaan lingkungan secara lestari. Hal ini ditandai dengan tren tingkat ketaatan pelaku usaha dalam Proper dan kinerja pengelolaan lingkungan hidup secara signifikan meningkat. Dari 82 perusahaan di tahun 2003, meningkat menjadi 1.914 perusahaan di tahun 2014, dan 3.694 perusahaan di tahun 2023.
Selain itu, sertifikasi mandatory untuk produk hasil hutan yang diekspor, yaitu Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) meningkat dari 2.724 industri pemegang sertifikat pada tahun 2017 menjadi 5.462 industri pemegang sertifikat di tahun 2023. Peningkatan pelaku usaha pemegang SVLK, seiring dengan peningkatan tren ekspor produk hasil hutan dari 10,93 juta dolar AS pada tahun 2017 menjadi 13,17 juta dolar AS pada tahun 2023.
“Atas berbagai tantangan yang dihadapi saat ini dan untuk mengantisipasi tantangan di masa datang, pemerintah bersama para pihak, termasuk dunia usaha, perlu dapat segera merumuskan new business platform (platform bisnis baru) pemanfaatan sumber daya alam. Ke depan, pemanfaatan sumber daya alam diharapkan dapat diusahakan pada aset lahan yang kecil, namun memiliki nilai bisnis yang besar,” katanya.
Koordinator Tim Ahli Sekretariat Nasional SDGs Kementerian PPN/Bappenas Yanuar Nugroho juga menyatakan soal perlunya keterlibatan dunia usaha untuk menerapkan prinsip ESG. Menurut dia, Pihak swasta perlu melakukan alignment ESG sehingga dapat mendukung percepatan pelaksanaan SDGs.
Yanuar menekankan, bahwa mengintegrasikan tujuan ekonomi dan sosial tanpa mengesampingkan dampak lingkungan dapat meningkatkan daya saing dan profitabilitas perusahaan.