Sabtu 02 Mar 2024 21:45 WIB

Studi: Deforestasi Memperburuk Risiko Penyakit Malaria

Hutan bisa berikan perlindungan alami terhadap penyakit malaria.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Dampak deforestasi terhadap prevalensi malaria paling besar terjadi di kawasan tinggal masyarakat miskin, dan di tempat spesies nyamuk tertentu mendominasi.
Foto: VOA
Dampak deforestasi terhadap prevalensi malaria paling besar terjadi di kawasan tinggal masyarakat miskin, dan di tempat spesies nyamuk tertentu mendominasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Malaria membunuh lebih dari 600 ribu orang setiap tahun di seluruh dunia, dan dua pertiganya adalah anak-anak di bawah usia lima tahun di Afrika Sub-Sahara. Kondisi memprihatinkan ini mendorong para ilmuwan dari University of Vermont (UVM) untuk melakukan penelitian terkait perlindungan alami terhadap penularan malaria.

Hasilnya sangat mengejutkan. Studi yang dipublikasikan di jurnal GeoHealth tersebut menunjukkan bahwa hutan dapat memberikan perlindungan alami terhadap penularan penyakit, khususnya bagi anak-anak yang paling rentan.

Baca Juga

Malaria menyebar melalui gigitan nyamuk Anopheles. Meskipun malaria adalah penyakit yang sudah lama dikaitkan dengan status sosial ekonomi rendah, studi UVM menghubungkan penggundulan hutan (deforestasi) dengan risiko penyakit yang lebih tinggi, terutama bagi anak-anak dari rumah tangga miskin.

“Studi ini diharapkan bisa memberi masukan terhadap kebijakan kesehatan masyarakat yang baik. Penting juga untuk mempertimbangkan pelestarian lingkungan dan tidak merusak lahan, sehingga nyamuk tidak dapat berkembang biak,” kata penulis utama Tafesse Estifanos, seperti dilansir Phys, Sabtu (2/3/2024).

Tim peneliti menganalisis prevalensi malaria di enam negara Afrika sub-Sahara yang merupakan daerah endemik penyakit ini, termasuk Pantai Gading, Republik Demokratik Kongo, Guinea, Mozambik, Rwanda, dan Togo. Mereka menghubungkan data survei demografi dan kesehatan lebih dari 11.500 anak dengan peta jangkauan nyamuk dan perubahan penggunaan lahan untuk menentukan bagaimana kekayaan, suhu, curah hujan, dan tutupan hutan mempengaruhi tingkat infeksi. 

Peneliti menggunakan model efek campuran multi-level untuk menguji hubungan potensial, dan menemukan bahwa individu yang paling terkena dampak adalah mereka yang paling tidak mampu. “Kita menghadapi kesenjangan sosio-ekonomi yang sangat besar antar rumah tangga,” jelas Estifanos.

Data menunjukkan bahwa dampak deforestasi terhadap prevalensi malaria paling besar terjadi di kawasan tinggal masyarakat miskin, dan di tempat spesies nyamuk tertentu mendominasi. Malaria paling banyak terjadi pada rumah tangga miskin (40,4 persen) dan paling sedikit terjadi pada rumah tangga kaya (6,2 persen).

Lantas bagaimana hutan bisa membantu mencegah penyebaran malaria? Estifanos menjelaskan bahwa perubahan lanskap hutan dan ladang untuk pertanian, bisnis, dan perubahan, berdampak pada manusia yang tinggal berdekatan dengan spesies hewan atau penyakit yang ditularkannya seperti nyamuk. Hal ini juga terjadi di Afrika Sub-Sahara, dimana 94 persen kasus malaria di seluruh dunia terjadi seiring dengan alih guna hutan dan lahan yang signifikan.

Nyamuk berkembang biak di genangan air yang ditemukan ember, ban mobil, bahkan jejak kaki ternak setelah hujan. Dan hutan yang vegetasinya masih baik, dapat memperlambat penularan malaria dengan mendinginkan suhu serta mengurangi potensi genangan air, sehingga mengurangi waktu dan jumlah tempat nyamuk dapat berkembang biak.

Dan jika menyangkut malaria, kata Estifanos, jenis nyamuklah yang menentukan. “Di alam kita terdapat nyamuk-nyamuk non vektor, dan nyamuk jahat yang merupakan vektor dari parasit malaria pada manusia. Vektor-vektor tersebut dan nyamuk yang menghisap darah manusialah yang menyebabkan masalah ini,” kata Estifanos.

Vektor malaria adalah yang paling banyak ditemukan di Afrika Sub-Sahara. Selain itu, ada tiga vektor yang dominan: Anopheles gambiae, Anopheles arabiensis, dan Anopheles funestus. Dua dari spesies ini yaitu Anopheles gambiae, dan Anopheles funestus, sangat antropofilik. Artinya mereka lebih suka memakan darah manusia. Tipe ketiga, Anopheles arabiensis, memakan hewan ternak namun dan beralih memangsa darah manusia jika hewan tersebut tidak ada.

Lebih lanjut, Estifanos menjelaskan bahwa masyarakat yang hidup dalam kemiskinan mungkin tidak dapat melakukan perubahan perilaku yang dapat mengurangi potensi paparan malaria, seperti melakukan perbaikan rumah atau membeli kelambu. Masyarakat pedesaan juga menghadapi kendala. Mereka seringkali kurang memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan yang dapat memberikan pengobatan dini terhadap penyakit malaria.

Perubahan iklim menimbulkan tantangan tambahan karena kenaikan suhu mendorong reproduksi nyamuk. Studi UVM menemukan peningkatan suhu sangat terkait dengan prevalensi malaria di seluruh wilayah, dan proyeksi iklim di Afrika Sub-Sahara dapat memperburuk masalah ini.

“Sebelumnya, hanya ada beberapa daerah dataran tinggi yang cocok untuk perkembangbiakan nyamuk atau malaria. Tetapi saat ini, karena deforestasi dan perubahan iklim, suhu meningkat dan menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan bagi perkembangbiakan nyamuk,” kata Estifanos.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement