REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di sebuah pekarangan berdebu di tepi padang pasir sekitar 160 kilometer dari Expo City Dubai, tempat berlangsungnya COP28, 20 ton sampah tekstil membusuk, pakaian-pakaian yang tumpah keluar dari bal-bal yang dibungkus plastik. Kehadirannya menggarisbawahi tantangan yang dihadapi industri fesyen dalam hal mengumpulkan, menyortir, mendaur ulang pakaian.
Asal muasal sampah tersebut tidak diketahui secara pasti, demikian menurut pemerhati fashion Dubai, Anita Nouri. Namun, hal ini bukanlah hal aneh di perdagangan global dalam mengangkut pakaian bekas atau pakaian yang tidak diinginkan dari satu pasar ke pasar lainnya tanpa memberikan tanggung jawab kepada siapa pun - baik jenama, peritel, maupun eksportir - atas apa yang terjadi pada pakaian-pakaian tersebut.
Uni Emirat Arab (UEA) adalah salah satu importir pakaian bekas terbesar di dunia, menurut OEC, dan ada lebih dari 40 "zona bebas multidisiplin" di negara ini: area di mana investor asing dapat memiliki kepemilikan penuh atas perusahaan mereka dan sekarang dikenal sebagai titik-titik utama untuk mengimpor pakaian bekas karena adanya pengecualian finansial dan peraturan independen. Zona bebas telah menimbulkan masalah dengan limbah di negara-negara lain dan di Gurun Atacama Chili, sekitar 60 ribu ton limbah tekstil menumpuk - sisa-sisa yang tidak dapat dijual yang diimpor melalui zona bebas Alto Hospicio.
Patsy Perry, pakar fashion marketing di Manchester Metropolitan University, mengatakan bahwa hal ini menjadi masalah yang terus berkembang.
"Antara tahun 2000 dan 2022, produksi serat global telah meningkat dari 58 juta ton menjadi 116 juta ton, jadi kita mengonsumsi lebih banyak pakaian dan membuangnya lebih cepat dalam volume yang lebih besar. Parahnya, kita tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk menanganinya. Ketika diekspor, hal ini tidak terlihat dan tidak terpikirkan," kata Perry seperti dilansir Vogue, Rabu (6/3/2024).
Tidak seperti sampah rumah tangga, yang lebih mungkin dikumpulkan dan diproses oleh pemerintah daerah, tidak ada yang secara langsung bertanggung jawab untuk mengumpulkan atau memproses limbah tekstil. Dalam kekosongan yang tercipta akibat kurangnya akuntabilitas atau infrastruktur terpusat ini, sistem pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang yang terfragmentasi telah muncul, kata Megan Stoneburner, direktur serat dan bahan di Textile Exchange.
Di antara bal-bal di UEA, sebuah stempel pengenal terlihat di sisi salah satu penutup plastik yang hancur: "Milik Statewide Cleaning Cloths Australia Pty Ltd". Di situs webnya, Statewide Cleaning Cloths Australia (SCCA) mengklaim sebagai "Pengumpul Tekstil Zero Waste Australia", yang mengumpulkan pakaian, sepatu, tas, dan mainan yang tidak diinginkan dari badan amal dan mengirimkan semuanya ke perusahaan saudaranya, Australian Textiles Manufacturing Malaysia (ATMM), untuk disortir.
Menurut SCCA, 45 persen dari apa yang dikumpulkan diproses menjadi produk seperti kain dan tikar; 55 persen diekspor ke seluruh dunia sebagai tekstil yang terjangkau, tanpa penjelasan lebih lanjut tentang apa artinya.
CEO ATMM, Dale Warren, mengungkapkan bahwa barang-barang tersebut disortir ke dalam lebih dari 500 kategori berbeda, sesuai dengan faktor-faktor seperti medan lokal dan preferensi budaya.
"Hal ini dirancang untuk memastikan bahwa tidak ada produk yang dianggap tidak cocok untuk digunakan saat mencapai pasar akhir. UEA adalah salah satu negara tujuan ekspor grup ini," kata Warren.
Berbicara atas nama kelompok tersebut, Warren mengatakan bahwa berdasarkan warna tali pengikat di sekitar bal dan keberadaan plastik di antara 20 ton limbah, ia yakin penutup yang dicap tersebut mungkin saja dikumpulkan dan digunakan oleh orang lain di sepanjang rantai. Warren menekankan bahwa membuang tekstil tidak sesuai dengan standar SCCA.
"Ini adalah tindakan kecil dari seorang pemroses atau pedagang yang nakal dan tidak mencerminkan industri pemulihan tekstil. Kebijakan zero waste kami berlaku di seluruh operasi kami, tanpa memandang batas geografis," kata Warren.
Hal ini menggarisbawahi apa yang Perry sebut sebagai rapuhnya manajemen ekspor pakaian bekas.
Lantas siapa yang bertanggung jawab? Sementara masyarakat menyortir ulang, mendistribusikan kembali, upcycle dan recycle, merek dan peritel yang memasarkan produk tersebut bebas untuk terus memproduksi secara berlebihan dengan segala konsekuensinya dan melepaskan diri dari tanggung jawab sejak awal.
"Sangat mudah untuk memproduksi secara berlebihan karena merek tidak benar-benar melihat biaya produksi yang terlalu besar. Biaya yang dikeluarkan untuk lingkungan dan pemangku kepentingan lainnya," kata Perry.
Beberapa merek mulai menerima tanggung jawab - dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda. Skema pengambilan kembali yang ditawarkan oleh merek-merek fast fesyen, tetapi dioperasikan oleh pihak ketiga, masih menghasilkan pakaian yang diekspor dan dibuang, menurut laporan Changing Markets pada Juli 2023.
Merek print on-demand, Teemill, telah mengambil pendekatan yang lebih terbuka. Perusahaan tersebut membuat pakaiannya dari 100 persen kapas sehingga setiap barang yang diproduksi dapat didaur ulang oleh mitranya dan dijadikan benang untuk produk "remill" baru. Sampai saat ini, Teemill hanya menerima produk mereknya sendiri untuk didaur ulang, namun dengan peluncuran program barunya, Thread Not Dead, Teemill membuka diri untuk menerima pakaian 100 persen katun dari merek apa pun, dalam kondisi apa pun.