REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakaian yang diproduksi dengan cepat, dan dengan cepat pula menjadi ketinggalan zaman, hanya akan berakhir di tempat sampah. Limbah fesyen itu kemudian berdampak buruk bagi lingkungan karena bahan kimia yang terkandung di dalamnya bisa merembes ke dalam pasokan air.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Penn State Smeal College of Business menemukan sebuah model bisnis baru yang dapat mengatasi masalah konsumsi berlebihan tanpa membebani perusahaan yang beroperasi dalam industri fesyen yang sangat kompetitif.
Para peneliti menemukan bahwa konsumen bersedia membayar lebih mahal untuk pakaian yang dapat mereka custom dan disimpan lebih lama. Temuan yang dipublikasikan di Journal of Operations Management ini menunjukan bahwa perusahaan fashion yang mengadopsi model kustomisasi massal, dapat tetap mendapatkan keuntungan sekaligus mengurangi dampak lingkungan dari industri fesyen.
"Kami membuat hipotesis dan menunjukkan bahwa menyediakan kustomisasi untuk memenuhi selera konsumen secara individu namun dalam skala massal, dapat membantu mengurangi limbah fesyen. Faktanya, kami pikir kustomisasi massal dapat menjadi dasar bagi model bisnis baru di bidang fesyen yang lebih berkelanjutan dan lebih menguntungkan,” kata peneliti utama studi, Aydin Alptekinoglu, seperti dilansir Phys, Ahad (8/10/2023).
Fast fashion mengacu pada bagaimana industri fesyen sering kali memproduksi pakaian yang terbuat dari bahan sintetis berbasis plastik yang murah yang disebut polimer. Karena pakaian-pakaian tersebut murah dan cenderung cepat rusak, konsumen cenderung membuangnya dan membeli yang baru daripada mencoba memperbaikinya. Pakaian-pakaian tersebut biasanya berakhir di tempat pembuangan sampah dan bahan kimia yang membentuk polimer murah ini dapat menyusup ke dalam pasokan air.
Peneliti koresponden sekaligus profesor Manajemen Operasi dan Rantai Pasok di Smeal College, Dan Guide, menjelaskan bahwa masalah besar dengan serat sintetis ini adalah karena campuran polimer yang kompleks.
"Bahan itu benar-benar terdiri dari berbagai jenis plastik, yang cenderung kita lakukan dengan buruk dalam menyortirnya, sehingga polimer-polimer ini menjadi terlalu rumit untuk didaur ulang dan plastik tersebut, misalnya, dapat merembes ke dalam pasokan air,” jelas Guide.
Menurut Guide, dengan membuktikan bahwa orang akan membayar lebih mahal untuk pakaian yang dipersonalisasi, bisnis dapat mengimbanginya dengan menjual lebih sedikit pakaian dengan harga yang lebih mahal, daripada menjual lebih banyak unit pakaian sekali pakai dengan harga yang lebih murah.
“Tidak ada bisnis yang akan mengadopsi praktik yang akan merugikan kemampuannya untuk bersaing, atau merugikan investor mereka,” kata Guide.
Menurut para peneliti, solusi ini juga praktis karena teknologi yang ada saat ini memungkinkan semua jenama untuk mempersonalisasi produk mereka secara online. Sebagai contoh, pelanggan dapat mengunggah foto mereka ke situs web untuk mengulas gaya kacamata hitam yang berbeda, atau mencoba pakaian secara virtual.
Yang tidak kalah penting, teknologi manufaktur yang fleksibel tersedia untuk mendukung kustomisasi produk semacam itu dalam skala besar. Sebagai contoh, pencetakan 3D dan berbagai teknologi otomasi lainnya memungkinkan produksi serial yang unik. Alptekinoglu berharap, keekonomisan teknologi yang terus meningkat, secara alami akan mengarahkan industri fesyen ke arah penyesuaian massal.