Jumat 21 Nov 2025 13:37 WIB

Thrifting Produk Lokal Dinilai Jadi Solusi Sampah Fast Fashion

Pakaian bekas impor dinilai memperpanjang rantai limbah tekstil global.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolandha
Jelang Hari Raya Idul Fitri, Pasar Cimol Gedebage, Kota Bandung, dibanjiri pembeli, Senin (8/4/2024). Di pusat thrifting atau pakaian bekas impor terbesar di Kota Bandung ini para pengunjung bisa mendapatkan pakaian dengan harga sangat murah, dengan kualitas baik bahkan kalau beruntung bisa mendapatkan barang branded.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Jelang Hari Raya Idul Fitri, Pasar Cimol Gedebage, Kota Bandung, dibanjiri pembeli, Senin (8/4/2024). Di pusat thrifting atau pakaian bekas impor terbesar di Kota Bandung ini para pengunjung bisa mendapatkan pakaian dengan harga sangat murah, dengan kualitas baik bahkan kalau beruntung bisa mendapatkan barang branded.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis lingkungan menilai praktik thrifting berpotensi menjadi solusi pengurangan sampah fesyen, namun harus dijalankan dengan prinsip ekonomi sirkular dan berbasis produk lokal. Dewan Pengarah Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) sekaligus Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi Nasional Dwi Sawung mengatakan thrifting seharusnya tidak bergantung pada impor pakaian bekas dari luar negeri.

“Ya, thrifting bisa menjadi solusi, tapi thrifting-nya harus produk lokal. Bukan misalnya dia dari impor ataupun dumping produk dari negara maju yang fast fashion,” kata Sawung pada Republika, Kamis (21/11/2025).

Baca Juga

Ia menilai banjir pakaian bekas murah dari luar negeri justru mempercepat laju fashion cepat atau fast fashion. Negara maju yang memproduksi pakaian sekali pakai mendapatkan saluran pembuangan ke negara berkembang, sehingga memperpanjang rantai perputaran limbah tekstil global.

Menurut Dwi, thrifting dapat dikategorikan sebagai bagian dari ekonomi sirkular jika benar-benar memperpanjang usia pakaian dan mengurangi produksi barang baru. Namun, konsep itu harus berjalan dalam ekosistem lokal, bukan lintas negara.

“Dan loop-nya di lokal, bukan loop-nya di antar negara bahkan antarnegara miskin dan negara berkembang,” ujarnya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by ESG Now (@esg.now)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement