Rabu 13 Mar 2024 16:25 WIB

Dampak dari Perubahan Iklim, Enam Bahan Pokok Ini Terancam Hilang di Dunia

Produksi sejumlah bahan pokok terancam karena iklim ekstrem.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Sayuran (ilustrasi)
Foto: www.pixabay.com
Sayuran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar 660 juta orang mungkin masih menghadapi kelaparan pada tahun 2030. Alasan utama terjadinya hal ini adalah perubahan iklim dan peristiwa cuaca ekstrem yang terkait dengan iklim, demikian menurut laporan dari PBB.

Selama beberapa tahun terakhir, kegagalan panen dan kekurangan pangan semakin sering terjadi dan terlihat di seluruh dunia akibat meningkatnya banjir, kekeringan, gelombang panas, angin topan, dan badai – yang semuanya mengganggu sistem pertanian global dan kemampuan petani untuk bercocok tanam secara konsisten.

Baca Juga

Dilansir Green Queen, Rabu (13/3/2024), berikut enam tanaman pangan yang produksinya terancam anjlok di masa depan akibat perubahan iklim.

1. Cabai

Pada bulan April 2022, Huy Fong Foods di California Selatan menimbulkan keributan setelah perusahaan tersebut memberi tahu pelanggannya bahwa mereka harus berhenti membuat saus Sriracha favoritnya selama beberapa bulan ke depan, karena kondisi cuaca buruk yang mempengaruhi kualitas cabai.

Rendahnya persediaan jalapeno merah dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh kekeringan di Meksiko dan menipisnya persediaan air di Colorado, serta diperburuk oleh kegagalan panen pada musim semi lalu.

 

2. Kopi

Bicara soal kopi, salah satu minuman favorit di dunia ini juga terancam. Dari 124 spesies kopi yang diketahui, 75 di antaranya berada di bawah ancaman kepunahan menurut sebuah penelitian, termasuk arabika, salah satu dari dua spesies utama yang ditanam dan dikonsumsi secara global (bersama dengan Robusta).

Faktanya, penelitian sebelumnya dari salah satu penulis studi yang sama menemukan bahwa dalam skenario terburuk, arabika sebenarnya bisa punah pada tahun 2080. Studi lain mengungkapkan bahwa bahaya iklim akibat cuaca ekstrem menjadi lebih sering terjadi, dan akan menyebabkan produksi kopi lebih rendah sehingga harganya bisa melambung tinggi.

Suhu pertumbuhan optimal untuk arabika dan Robusta adalah 18-22 derajat Celcius, dan meskipun wilayah penghasil kopi lebih rentan terhadap suhu yang terlalu dingin selama 40 tahun terakhir, saat ini setiap wilayah menghadapi panas ekstrem yang harus dihadapi. Ini berarti jumlah lahan untuk menanam kopi bisa berkurang setengahnya sebelum tahun 2050.

 

3. Jagung

Selama ini, jagung dianggap sebagai tanaman terpenting dan salah satu tanaman yang paling banyak diproduksi di dunia. Karena itulah, kekurangan jagung telah menjadi masalah di seluruh dunia.

Di Zambia, dimana masyarakatnya bergantung pada jagung sebagai sumber makanan utama, terjadi defisit pasokan akibat ekspor serta kekeringan parah dan banjir bandang yang dihadapi negara tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Kekeringan juga telah mengeringkan stok jagung putih di Tanduk Afrika, yang mencakup Ethiopia, Eritrea, Somalia dan Djibouti, serta Kenya, Sudan, Sudan Selatan dan Uganda.

Di India utara, tanaman jagung mulai mengering karena genangan air di ladang, sementara banjir merusak jagung yang ditanam sebagai pakan ternak pada saat panen.

 

4. Tomat

Penelitian menunjukkan adanya penurunan hasil panen tomat sebesar 6 persen di wilayah-wilayah dengan pertumbuhan tomat besar seperti Italia dan California pada pertengahan abad ini, akibat pemanasan global.

Suhu optimal untuk tomat adalah antara 22-28 derajat Celcius. Namun, pada suhu di atas 35 derajat Celcius, hasil panen turun dengan cepat. Saat ini, 65 persen tomat tumbuh di California, Italia, dan Tiongkok, namun suhu tertinggi dan kondisi kekeringan berarti hasil panennya 10 persen lebih rendah dari perkiraan pada tahun 2021.

Pembatasan penggunaan air juga dapat mempengaruhi produksi tomat di Italia dan California. Inggris mengalami kekurangan tomat baru-baru ini karena tekanan panen di Spanyol dan Maroko, sementara India – konsumen tomat terbesar kedua – mengalami lonjakan harga tomat sebesar 400 persen. McDonald’s dan Burger King bahkan tidak mengeluarkan saus tomat karena hal tersebut.

 

5. Cokelat

Industri coklat juga merupakan pendorong utama deforestasi, terutama karena penggunaan minyak sawit, yang merupakan faktor terbesar dibalik deforestasi di daerah tropis. Di Pantai Gading, negara penghasil kakao terbesar di dunia, lebih dari 85 persen hutannya telah hilang sejak tahun 1960. Hal ini menyebabkan adanya larangan terhadap kakao yang terkait dengan deforestasi di UE.

Namun perubahan iklim berdampak buruk pada coklat. Pada tahun 2021, para ilmuwan memperingatkan bahwa pohon kakao terancam, dan sepertiga dari tanaman tersebut bisa mati pada tahun 2050, yang dapat menyebabkan kekurangan coklat secara global.

 

6. Jeruk

Harga jus jeruk melonjak akibat penyakit bakteri dan cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim di AS. Pada tahun 2022, Florida -rumah bagi 9 persen pasokan jus jeruk di negara itu– dilanda Badai Ian dan Badai Nicole, sehingga menghancurkan hasil panen jeruk di negara bagian tersebut.

Florida kehilangan 10 persen pohon jeruknya karena badai, dan Badai Ian – yang diperburuk oleh perubahan iklim – memberikan dampak sangat dahsyat. Badai ini melanda 152 ribu hektar kebun jeruk di negara bagian tersebut.

Namun, ini bukan hanya terjadi di AS. Brasil – eksportir jus jeruk terbesar di dunia – mengalami penurunan stok menjadi sekitar 85 ribu ton, penurunan tahunan yang tajam sebesar 40 persen. Secara global, produksi jus jeruk pada tahun anggaran 2022/23 mengalami penurunan sebesar 9 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement