Jumat 29 Mar 2024 14:25 WIB

PBB: Krisis Air Timbulkan Banyak Konflik di Dunia

Sebanyak 2,2 miliar orang di dunia alami kesulitan akses air bersih.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Sebuah laporan terbaru PBB menyatakan bahwa peningkatan kelangkaan air global memicu lebih banyak konflik.
Foto: www.freepik.com
Sebuah laporan terbaru PBB menyatakan bahwa peningkatan kelangkaan air global memicu lebih banyak konflik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah laporan terbaru PBB menyatakan bahwa peningkatan kelangkaan air global memicu lebih banyak konflik dan berkontribusi terhadap ketidakstabilan. PBB juga menekankan bahwa akses terhadap air bersih sangat penting untuk mewujudkan perdamaian.

Laporan berjudul UN World Water Development Report 2024 mengungkapkan bahwa bahwa 2,2 miliar orang di seluruh dunia tidak memiliki akses terhadap air minum bersih dan 3,5 miliar orang tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang dikelola dengan aman.

Baca Juga

Menurut laporan yang diterbitkan oleh UNESCO (Badan khusus PBB untuk pendidikan, keilmuwan dan kebudayaan), anak perempuan dan perempuan adalah korban paling menderita dari kekurangan air. Terutama yang tinggal di daerah pedesaan, di mana mereka memiliki tanggung jawab utama untuk mengumpulkan persediaan.

Menghabiskan waktu beberapa jam sehari untuk mengambil air, ditambah dengan kurangnya sanitasi yang aman, merupakan faktor yang menyebabkan anak perempuan putus sekolah.

"Kekurangan air tidak hanya mengobarkan api ketegangan geopolitik, tetapi juga menimbulkan ancaman terhadap hak-hak dasar secara keseluruhan, misalnya, dengan sangat melemahkan posisi anak perempuan dan perempuan," kata kepala UNESCO Audrey Azoulay, seperti dilansir Al Jazeera, Jumat (28/3/2024).

Meskipun laporan tersebut tidak mengkaji secara spesifik konflik yang terjadi saat ini, Israel telah sangat membatasi akses terhadap air bersih dan segar selama perang di Gaza.

Badan-badan PBB telah lama memperingatkan bahwa anak-anak dan perempuan tidak hanya menghadapi risiko mengalami kehausan dan kelaparan, tetapi kurangnya air bersih juga telah mengganggu perawatan medis dan sanitasi.

Ringkihnya ketahanan air juga mendorong migrasi, dan para pengungsi membebani sumber daya di lokasi di mana mereka bermukim. Laporan tersebut mengutip sebuah penelitian di Somalia yang mengindikasikan adanya peningkatan 200 persen kekerasan berbasis gender terhadap sekelompok pengungsi. Setidaknya 10 persen migrasi global terkait dengan tekanan air karena dunia menghadapi iklim yang lebih tidak menentu, demikian temuan para peneliti.

"Pemanasan global diproyeksikan akan semakin meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan kekeringan dan banjir, dengan lebih banyak cuaca basah dan cuaca yang sangat kering serta peristiwa iklim,” kata laporan tersebut.

Berjudul Water for Prosperity and Peace, laporan ini menemukan bahwa sekitar setengah dari populasi dunia mengalami kelangkaan air yang parah dengan beberapa daerah yang kekurangan air hampir sepanjang tahun.

Sebagian besar konsekuensinya dirasakan di negara-negara miskin, yang merasa lebih sulit untuk beradaptasi. Laporan tersebut memperkirakan bahwa dibutuhkan biaya sebesar 114 miliar dolar AS per tahun untuk menyediakan air minum yang aman, sanitasi dan kebersihan di 140 negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Quentin Graft dari Water Justice Hub, sebuah afiliasi UNESCO, mengatakan bahwa ini bukan hanya masalah air bagi orang-orang di Suriah dan Sudan, namun juga bagi banyak negara.

“Ini adalah masalah kita semua, karena kita menanam makanan dengan air tawar, baik yang diairi dengan irigasi maupun tadah hujan. Jadi ketika Anda mengalami perubahan iklim di atas krisis air yang sudah ada, maka kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri," kata fdia.

Meskipun 153 negara berbagi sumber daya air, hanya 24 negara yang telah menandatangani perjanjian kerja sama yang mencakup semua air yang mereka gunakan bersama, demikian kata Sekjen PBB Antonio Guterres.

Sekretaris Konvensi Air PBB, Sonja Koeppel, menambahkan bahwa lebih dari 60 persen dari seluruh sumber daya air tawar digunakan bersama oleh dua negara atau lebih, termasuk sungai-sungai besar seperti Rhine dan Danube di Eropa, Mekong di Asia, Sungai Nil di Afrika, dan Amazon di Amerika Selatan.

Konvensi ini didirikan pada tahun 1992 untuk membantu mendorong pengelolaan sumber daya air yang bertanggung jawab di Eropa, tetapi dibuka pada tahun 2016 untuk negara-negara di seluruh dunia. Saat ini ada 52 negara pihak, terutama di Eropa, Asia dan Afrika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement