REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penelitian terbaru yang diterbitkan Nature pada Rabu (17/4/2024) menunjukkan, perubahan iklim menurunkan pendapatan global sebesar 19 persen. Gelombang panas, banjir besar hingga kebakaran hutan akut yang diperburuk oleh perubahan iklim akan menjadi malapetaka dalam 26 tahun ke depan.
Pukulan finansial tersebut tidak hanya berdampak pada pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dunia sedang menuju ke arah peningkatan pemanasan global hampir 3 derajat pada abad mendatang.
Bahkan dengan kebijakan dan tujuan iklim yang ada saat ini. Para peneliti mengatakan bahwa setiap orang dapat menanggung beban ekonominya. Menurut mereka, penderitaan finansial dalam jangka pendek tidak dapat dihindari, bahkan jika pemerintah negara-negara meningkatkan upaya mereka untuk mengatasi krisis saat ini.
"Dampak-dampak ini tidak dapat dihindari dalam artian tidak dapat dibedakan di berbagai skenario emisi masa depan hingga tahun 2049," kata dua peneliti dari Potsdam Institute of Climate Impact Research, Maximilian Kotz dan Leonie Wenz, seperti dilansir laman CNN International, Kamis (18/4/2024).
Namun, mereka mengatakan tindakan cepat dan tepat untuk mengurangi perubahan iklim dapat membendung beberapa kerugian dalam jangka panjang. Sementara itu, profesor dan peneliti lingkungan di Stanford University, Noah Diffenbaugh mengatakan bahwa kerusakan ekonomi akibat perubahan iklim akan terjadi dalam berbagai bentuk.
Tidak hanya peristiwa cuaca ekstrem yang dapat mengakibatkan biaya perbaikan yang mahal untuk properti yang rusak, tetapi suhu yang meningkat juga dapat berdampak pada pertanian, produktivitas tenaga kerja, dan bahkan kemampuan kognitif dalam beberapa kasus.
Meskipun wacana tentang biaya perubahan iklim sering kali merujuk pada upaya mitigasi yang berpotensi mahal, penelitian ini berpendapat bahwa kerusakan finansial jangka pendek yang ditimbulkan oleh perubahan iklim sudah lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi krisis tersebut.
Para peneliti pun memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan oleh ekonomi global sebesar 6 triliun dolar AS pada tahun 2050 untuk mematuhi Perjanjian Iklim Paris. Angka ini dibandingkan dengan estimasi kerugian ekonomi sebesar 38 triliun dolar AS yang diperkirakan oleh studi tersebut akibat perubahan iklim.
Kendati begitu, dampak finansial yang diharapkan tidak akan terdistribusi secara merata. Diffenbaugh, yang tidak terkait dengan penelitian ini, mengatakan bahwa meskipun penelitian yang menunjukkan dampak agregat dari perubahan iklim itu penting, di dalam dampak agregat tersebut terdapat kesenjangan yang sangat mencolok mengenai siapa yang paling terkena dampak perubahan iklim.
"Kami memiliki bukti yang jelas bahwa secara keseluruhan, masyarakat miskin akan lebih dirugikan," katanya. "Itulah yang mungkin terjadi dari pemanasan global yang telah terjadi dan apa yang mungkin terjadi bahkan untuk pemanasan global dalam jumlah kecil," imbuh dia.
Studi Nature memperkirakan kerusakan ekonomi di berbagai wilayah. Amerika Utara dan Eropa diperkirakan akan mengalami penurunan pendapatan yang lebih rendah dalam 26 tahun ke depan, yaitu sebesar 11 persen, dibandingkan dengan Asia Selatan dan Afrika yang mencapai 22 persen.
Menurut studi tersebut, Amerika Serikat, yang secara historis merupakan penghasil polusi yang besar, akan mengalami dampak ekonomi yang lebih kecil dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Namun, Amerika Serikat tidak akan terhindar dari gangguan yang disebabkan oleh planet yang memanas - terutama generasi muda Amerika.