Rabu 05 Jun 2024 14:35 WIB

AHY Pastikan tak Ada Masyarakat yang Dirugikan dalam Pembangunan Papua

Menurut AHY, Presiden selalu menekankan prinsip yang mengutamakan masyarakat.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2024).
Foto: Antara/Mentari Dwi Gayati
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan, pemerintah memastikan tidak ada masyarakat yang dirugikan dalam pembangunan di Tanah Papua, seperti halnya rencana alih fungsi lahan hutan adat Suku Awyu di Papua Selatan, serta Suku Moi di Sorong, Papua Barat. 

Menurut AHY, Presiden Joko Widodo selalu menekankan prinsip yang mengutamakan masyarakat sekitar dalam setiap pembangunan agar masyarakat merasa nyaman dan tak ada yang dirugikan. "Jangan sampai kemudian atas nama pembangunan terus menjadi tidak terjaga kelestariannya," kata AHY, sapaan, di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (5/6/2024).

Ia mengatakan, alih fungsi lahan di Papua sebetulnya merupakan persoalan menjaga keseimbangan, antara kepentingan dan kebutuhan pembangunan ekonomi yang mesti melihat harapan masyarakat setempat.

"Jangan sampai tergusur dari pekarangan sendiri. Kita berharap tidak ada masyarakat atau daerah mana pun yang tertinggal, sangat tertinggal, karena ini juga bukan hanya masalah ekonomi tapi juga keadilan sosial," lanjut AHY.

 

Sebelumnya, tagar All Eyes On Papua viral di media sosial akhir-akhir ini. Unggahan poster yang viral di media sosial Instagram terdapat narasi yang menyebutkan bahwa "Hutan di Papua tepatnya di Boven Digoel yang luasnya 36 ribu hektare atau lebih dari separuh luas Jakarta akan dibangun perkebunan sawit".

Selanjutnya, pada 27 Mei 2024, masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, berdemo di depan Mahkamah Agung dan menolak pembabatan hutan, karena hutan itu merupakan hutan adat tempat penghidupan secara turun temurun, serta sumber pangan, budaya, dan sumber air.

Dosen dan peneliti sosial di Institut Teknologi Bandung Angga Dwiartama yang lama melakukan penelitian di Papua sebelumnya mengatakan, berdasarkan penelitiannya di Sawesuma, Jayapura, ia dan rekan-rekannya dari Universitas Indonesia dan Universitas Cendrawasih menemukan masalah kebun sawit di Papua cukup kompleks. Ia mengakui ada manfaat jangka pendek dari perkebunan.

Konsesi perkebunan sawit biasanya memberikan kompensasi untuk masyarakat, pada marga atau suku dimana wilayah hutannya digunakan untuk sawit. "Di beberapa skema, bahkan perusahaan memberikan pembayaran rutin. Tapi, masalahnya jauh lebih banyak, dan fundamental," katanya kepada Republika, Selasa (4/6/2024).

Menurut Angga, pembukaan lahan sawit juga membuat masyarakat kehilangan sumber-sumber penghidupan. Tidak hanya yang bernilai ekonomi seperti produk hortikultura, tapi juga yang bisa menjamin ketahanan pangan lokal seperti akses terhadap air, sumber daya ikan, hewan buruan, atau hasil hutan.

Masyarakat memperoleh uang dari perusahaan. Lalu, ketergantungan pada komoditas yang dibawa dari luar seperti beras, minyak, mi, membuat masyarakat kehilangan kemandirian, dan pada akhirnya berdampak pada ketahanan pangan," kata Angga.

Berdasarkan penelitiannya, pemberian komoditas dari luar juga salah faktor masalah stunting di daerah Papua.  "Studi membuktikan bahwa salah satu akar masalah stunting di daerah timur adalah ketergantungan mereka pada produk luar yang harganya tinggi," katanya.

Hutan Papua memegang berperan penting dalam menghadapi krisis iklim. Sebagai salah satu hutan tropis terbesar di dunia, hutan Papua menjadi penyerap karbon, mendinginkan iklim, dan berperan sebagai pencegah bencana alam. 

Akan tetapi, hutan Papua terus dihadapkan dengan persoalan deforestasi. Luas hutan Papua terus berkurang akibat pembalakan liar maupun pengalihfungsian menjadi lahan perkebunan sawit. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, deforestasi terus terjadi setiap tahunnya di Papua, meskipun angkanya cenderung menurun. Pada 2018-2019, BPS mencatat terjadi deforestasi sebesar 11.212 hektare. Adapun pada periode 2021-2022, deforestasi sebesar 4.531 hektare. 

Greenpeace Indonesia menyatakan, hutan Papua adalah benteng Indonesia maupun dunia untuk melawan perubahan iklim. Oleh karena itu, hutan Papua harus terus dijaga keberadaannya.

 

 

 

 

 

 

 

sumber : Antara

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement