Senin 10 Jun 2024 05:00 WIB

Menyoal Izin Lingkungan Perusahaan Sawit di Hutan Adat Papua

Izin lingkungan disebut diberikan tanpa persetujuan mayoritas masyarakat adat.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Masyarakat adat Papua Barat dan aktivis lingkungan melakukan aksi unjuk rasa menentang ekspansi kelapa sawit yang mengancam hutan mereka, di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (27/5/2024).
Foto: EPA-EFE/ADI WEDA
Masyarakat adat Papua Barat dan aktivis lingkungan melakukan aksi unjuk rasa menentang ekspansi kelapa sawit yang mengancam hutan mereka, di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (27/5/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Poster "All Eyes on Papua" hingga saat ini masih mewarnai lini masa media sosial sebagai bentuk dukungan kepada masyarakat adat suku Awyu di Papua Selatan dan suku Moi di Papua Barat. Saat ini, perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi untuk melindungi hutan mereka di selatan dan barat daya Papua berada di tangan Mahkamah Agung (MA).

Suku Awyu dan Moi berharap MA dapat mengabulkan perhomonan kasasi untuk membatalkan izin lingkungan perusahaan sawit yang diduga menyalahi aturan. Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante yang ikut mengawal perjuangan suku Awyu dan Moi, menjelaskan duduk persoalan terkait konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan sawit. Masyarakat adat suku Awyu menggugat pemerintah daerah karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL).

Baca Juga

PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu. Namun gugatan itu kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, kasasi di Mahkamah Agung harapan yang tersisa untuk mempertahankan hutan adat.  

"Ketegangan sekarang ini di tahapan proses, persyaratan (perusahaan) mendapatkan izin. Misalnya yang kami persoalkan kemarin mestinya kalau perusahaan ingin memperoleh izin, harus bermusyawarah dengan masyarakat terkait proposal mereka untuk mengembangkan usaha perkebunan," kata Franky kepada Republika, akhir pekan lalu. 

photo
Infografis deforestasi Papua dan Papua Barat. - (Republika)

Franky menjelaskan, musyawarah itu menentukan kesepakatan apakah masyarakat menyetujui atau tidak menyetujui rencana perusahaan. Menurut dia, sebagian besar masyarakat tidak menyetujui, tapi ia juga mengakui ada beberapa masyarakat menyetujui.

"Kami kelompok yang kontra dengan rencana perusahaan itu menduga ada permainan. Misalnya permainan yang dimaksud adalah pemberian uang dalam jumlah tertentu pada sebagian dari masyarakat untuk mendukung rencana perusahaan," katanya.  

Meski tak mendapakan izin dari mayoritas masyarakat, izin lingkungan pada akhirnya tetap keluar. "Masyarakat pun tidak tahu sudah ada izin lokasi itu. Ternyata pemerintah daerah yaitu Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) sudah mengeluarkan persetujuan kelayakan lingkungan yang kami kenal izin lingkungan itu," tambahnya.  

Izin lingkungan terdiri atas AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), upaya pengelolaan lingkungan, dan rencana pengelolaan lingkungan. "Masyarakat gugat itu. Awyu menggugat itu ke satu perusahaan PT Indo Asiana Lestari. Sebelum digugat, pertama-pertama kami juga melakukan permohonan informasi publik karena kami perlu surat dengar. Waktu kami dengar adanya izin lingkungan itu kami coba mengajukan permohonan."

"Tapi DPMPTSP tidak memberikan. Kami membuat pengaduan ke Komisi Informasi Publik Provinsi Papua. Kami mengadu ke pemprov (Pemerintah Provinsi) tapi kemudian ditolak. Itu kami bawa ke PTUN terkait lingkungan hidup," katanya.

Pada akhir Mei lalu, suku Awyu dan suku Moi mendatangi gedung Mahkamah Agung di kawasan Jakarta Pusat. Lewat aksi damai ini, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.

Mengutip laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), penyusunan dokumen Amdal harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan, namun tetap membuka ruang bagi pemerhati lingkungan dan LSM pembina masyarakat terkena dampak tersebut. 

Keterlibatan masyarakat juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam pasal 25 disebutkan bahwa dokumen Amdal harus memuat saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. Kemudian pasal 26 menegaskan bahwa penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.

Dalam keterangan persnya, Green Peace Indonesia mengatakan selain kasasi perkara PT IAL, masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel.

PT KCP dan PT MJR, yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta. "Kami belum tahu apakah sudah sidang (kasasi di Mahkamah Agung) atau belum. Biasanya mereka sidang tapi bukan sidang di pengadilan tapi sidang musyawarah majelis hakim. Itu yang belum kami dengar kapan musyawarahnya," kata Franky. 

Arahan Wapres...lanjut baca>>> 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement