Jumat 14 Jun 2024 08:56 WIB

Perundingan Pendanaan Iklim Global Alami Kebuntuan

Sebagian besar dana iklim yang disediakan negara-negara kaya berbentuk pinjaman.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Perubahan iklim (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Perubahan iklim (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BONN -- Lima bulan menjelang pertemuan perubahan iklim PBB, negara-negara belum dapat menyepakati anggaran global untuk membantu negara berkembang mengatasi perubahan iklim. Isu ini akan mendominasi COP29 yang akan digelar di Azerbaijan pasa November mendatang.

Hampir 200 negara akan berkumpul di Baku untuk menyetujui pendanaan tahunan baru untuk membantu negara-negara miskin memangkas emisi mereka dan melindungi masyarakatnya dari pemanasan global.  Target baru ini menggantikan janji negara-negara kaya pada tahun 2020 untuk menggelontorkan 100 miliar dolar AS setiap tahun untuk mendanai upaya penanggulangan perubahan iklim. Target itu terlambat dua tahun.

Belum ada perkembangan yang berarti dalam perundingan awal yang digelar pekan ini di Bonn, Jerman. Pada Kamis (13/6/2024) pembicaraan itu justru mengungkapkan perpecahan antara perekonomian-perekonomian terbesar di dunia mengenai berapa banyak dan siapa yang paling banyak membayar dana bantuan iklim itu.

Perwakilan negara-negara paling rentan merasa heran melihat negara-negara kaya gagal membayar dana iklim tapi dapat dengan cepat menyetujui anggaran militer untuk perang dan menghabiskan miliaran dolar AS untuk menyubsidi sumber-sumber energi yang menghasilkan emisi CO2. "Sepertinya negara-negara selalu memiliki uang ketika ada prioritas nasional yang lebih 'nyata,'" kata negosiator untuk Aliansi Negara Pulau-pulau Kecil Michai Robertson.

Target pendanaan baru ini merupakan inti dari perundingan iklim global untuk mendanai proyek-proyek mengurangi emisi yang menyebabkan perubahan iklim seperti energi terbarukan atau transportasi rendah karbon.

Semua negara akan memperbarui target iklim mereka tahun depan. Negosiator khawatir kegagalan negara-negara menyepakati dana iklim global dapat memperlemah upaya penanggulangan pemanasan iklim.  "Bagaimana caranya ada dapat bergerak maju bila tidak ada dananya," kata negosiator iklim Afrika Selatan Pemy Gasela.

Afrika Selatan salah satu negara berkembang yang mengatakan mereka tidak mampu mempercepat pemangkasan emisi tanpa bantuan keuangan. Dalam kasus Afrika Selatan, mereka ingin mengganti bahan bakar batu bara yang menghasilkan emisi CO2 dengan energi bersih.

Namun negara-negara kaya khawatir targetnya terlalu tinggi dan beresiko tidak terpenuhi. Kegagalan target 100 miliar dolar AS menjadi simbol politik dalam pembicaraan iklim di PBB akhir-akhir ini.

Kegagalan itu juga menimbulkan ketidakpercayaan antara negara. Negara-negara berkembang mengatakan perekonomian besar dunia mengabaikan mereka.  Walaupun sejumlah negara setuju 100 miliar dolar AS masih terlalu sedikit, tapi kecil kemungkinan mereka akan menyetujui usulan kepala iklim PBB bulan Februari lalu untuk menaikan janji menjadi 2,4 triliun dolar AS per tahun agar target iklim dunia dapat tercapai.

Uni Eropa maupun Amerika Serikat (AS) tidak menyebutkan berapa dana yang mereka inginkan meski pekan ini keduanya mengakui dana iklim itu harus lebih dari 100 miliar dolar AS. Saat ini, Uni Eropa yang memiliki 27 negara-anggota merupakan penyumbang dana iklim terbesar.

India dan sekelompok negara-negara Arab termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Mesir mengatakan total dana target iklim harus di atas dari 1 triliun dolar AS per tahun. Ini mencerminkan semakin banyaknya kebutuhan-kebutuhan negara miskin ketika dampak perubahan iklim semakin terasa.  

Negara-negara miskin yang rentan pada perubahan iklim juga mendorong peraturan yang lebih ketat mengenai apa saja yang termasuk dalam target tersebut. Mereka menyarankan peraturan yang mencegah pinjaman dengan tingkat bunga di atas 1 persen untuk menghindari utang negara-negara miskin yang sudah tinggi.

Berdasarkan data OECD, sebagian besar dana iklim yang disediakan negara-negara kaya berbentuk pinjaman. Negara-negara kaya juga berselisih siapa yang harus berkontribusi.

 

 

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement