REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerapan prinsip Environment, Social and Governance (ESG) dalam sebuah perusahaan merupakan sebuah kebutuhan. Dengan menerapkan ESG, sebuah perusahaan atau bisnis diyakini bisa memiliki nilai tambah di mata investor maupun masyarakat.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan, dalam menerapkan ESG, sebuah perusahaan harus mengelola lingkungan terkait operasi bisnisnya. Program yang dijalankan pun harus berkelanjutan dan diukur dampaknya
"Misal perusahaan nikel, tembaga, bauksin segala macam itu produknya dipakai untuk mobil listrik, perusahaan-perusahaan mobil listrik ini, baterainya segala macam mereka benar-benar akan melihat bagaimana critical mineral ini diproduksi dan diperoleh, apakah ini diproduksi dan diperoleh dengan mengimplementasikan ESG yang benar atau tidak," kata Seto dalam kegiatan ESG Summit 2024 yang digelar Republika di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Seto mengatakan produk yang dihasilkan dengan menerapkan ESG bukan untuk menaikkan harga produk di pasar. Ia mengatakan produk yang diproduksi dengan praktik ESG yang baik, tidak harus menjadi premium atau mahal.
Seto menjelaskan praktik ESG didorong dari pasar, terutama pangsa pasar Eropa dan Amerika. "Jadi ini masalahnya dibeli atau tidak, kalau tidak dibeli kita jual kemana," katanya.
Dia menegaskan, ESG salah satu faktor pasar yang penting. “PBB baru mengeluarkan laporan bagaimana implementasi atau penerapan tata kelola yang baik bagi critical mineral bagaimana tiga aspek ESG masuk semua, terkait hak asasi manusia, isu-isu sosial, terkait, lingkungan di planet kita, terkait tata kelola, korupsi, itu semua masuk tujuh prinsip yang diumumkan Sekretaris Jenderal PBB," katanya.
Menurutnya, ESG akan menentukan apakah perusahaan akan bertahan atau tidak. Seto mengakui kesadaran masyarakat di Asia terhadap produk-produk yang diproduksi dengan praktik ESG lebih rendah dibandingkan konsumen di Eropa dan Amerika.
Namun, konsumen-konsumen generasi lebih muda seperti milenial dan Gen-Z di Asia juga memiliki kesadaran yang kuat pada lingkungan. "Kalau barang-barangnya diproduksi dengan praktik ESG yang tidak bagus mereka tidak akan mau," katanya.
Seto mengatakan konsumsi barang ramah lingkungan sudah menjadi gaya hidup di Eropa. Konsumen Eropa kerap bertanya tentang proses produksi barang yang hendak dibeli.
"Kami mengalami sendiri di kelapa sawit, kami sering kalau menjual panganan kecil di Eropa (ditanya) apakah palm oil free, karena palm oil mereka cap jelek, padahal belum tentu," kata Seto.