Selasa 24 Sep 2024 18:00 WIB

Greenpeace Desak Keadilan Iklim bagi Masyarakat Miskin dan Pesisir

Jakarta membutuhkan pendekatan yang inklusif dalam merumuskan kebijakan iklim.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Warga beraktivitas di area tanggul Muara Baru, Jakarta, Senin (2/1/2023).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Warga beraktivitas di area tanggul Muara Baru, Jakarta, Senin (2/1/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang masa kampanye pemilihan daerah, Greenpeace Indonesia merilis laporan bertajuk “Keadilan Iklim untuk Jakarta Berketahanan.” Laporan ini menyoroti bagaimana situasi krisis iklim di Jakarta mulai dari proses pembuatan kebijakan sampai kepada implementasinya.

Tidak hanya soal lingkungan, laporan ini juga menyoroti  persoalan keadilan kota. Greenpeace Indonesia mengatakan ancaman dan dampak krisis iklim menjadi permasalahan serius terhadap kesejahteraan masyarakat  yang hidup di kawasan pesisir, daerah padat penduduk, atau masyarakat dengan ekonomi menengah-bawah.

Greenpeace Indonesia mengatakan masyarakat tersebut menanggung beban paling berat dampak perubahan iklim, mulai dari risiko banjir yang lebih sering hingga akses minim terhadap air bersih dan ruang terbuka hijau.

“Hasil riset kami menunjukan bahwa wilayah yang paling berat mengalami dampak krisis iklim di Jakarta justru merupakan wilayah yang ditinggali oleh masyarakat miskin kota atau urban poor," kata Juru Kampanye Isu Keadilan Urban Greenpeace Indonesia Jeanny Sirait, Selasa (24/9/2024).

Padahal, kata Jeanny, kelompok masyarakat itu merupakan kelompok yang paling sedikit menyumbangkan emisi gas rumah kaca (GRK), faktor utama penyebab krisis iklim. Hal ini membuktikan bahwa tanggung jawab krisis iklim tersebut ditanggung secara tidak adil oleh masyarakat miskin di Jakarta, sehingga menjadikan mereka kelompok paling rentan terhadap dampak krisis iklim.

Di banyak tempat di Jakarta, kelompok rentan ini sering kali tersingkir dari proses perumusan kebijakan. Kebutuhan mereka jarang diperhitungkan dalam kebijakan-kebijakan utama kota, termasuk di bidang infrastruktur, transportasi, dan tata ruang. Hal ini semakin memperdalam ketimpangan sosial di tengah ancaman iklim yang semakin nyata.

Greenpeace menekankan Jakarta membutuhkan pendekatan yang jauh lebih adil dan inklusif dalam merumuskan kebijakan iklim. Peraturan Gubernur No. 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon yang Berketahanan Iklim (RPRKD) masih banyak kelemahan dalam pelaksanaannya.

Salah satu yang paling kritis adalah kurangnya keterlibatan masyarakat terdampak dalam proses perumusan kebijakan. Tidak cukup hanya mengidentifikasi siapa yang paling rentan; mereka juga harus dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan dan implementasi kebijakan iklim.

Jeanny menegaskan Jakarta tidak hanya membutuhkan kebijakan mitigasi yang ambisius, tetapi juga kebijakan adaptasi yang adil. Nelayan di pesisir, warga di wilayah rawan banjir, dan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar korban dari kebijakan yang tidak inklusif.

Jika kelompok-kelompok ini diabaikan, pembangunan hanya akan memperburuk ketidakadilan yang sudah ada. Warga Pulau Pari di Kepulauan Seribu adalah contoh nyata dari mereka yang merasakan langsung dampak krisis iklim.

Greenpeace melalui riset ini mendorong pemerintah untuk secara rutin mengevaluasi kebijakan iklim Jakarta dan memastikan alokasi sumber daya yang lebih memadai bagi kelompok rentan. Ini termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan infrastruktur transportasi publik yang inklusif.

Tanpa perhatian yang lebih serius terhadap kebutuhan kelompok rentan, pembangunan infrastruktur yang terus berlangsung di Jakarta justru berpotensi memperparah ketimpangan sosial dan krisis lingkungan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement