Senin 30 Sep 2024 22:09 WIB

Faktor-Faktor yang Menghambat Akses Pangan Sehat di Indonesia

Akses terhadap pangan sehat menjadi tantangan bagi sebagian masyarakat Indonesia.

Rep: Lintar Satria/ Red: Qommarria Rostanti
Beras (ilustrasi). Akses terhadap pangan sehat masih menjadi tantangan bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Foto: www.freepik.com
Beras (ilustrasi). Akses terhadap pangan sehat masih menjadi tantangan bagi sebagian masyarakat Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terus mendorong diversifikasi pangan sebagai strategi utama untuk mencapai kemandirian pangan di Indonesia. Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Badan Pangan Nasional, Rinna Syawal, mengatakan akses terhadap pangan sehat masih menjadi tantangan bagi sebagian masyarakat Indonesia.

"Masih banyak penduduk Indonesia yang belum bisa mengakses pangan sehat karena berbagai faktor, seperti ketersediaan, harga, distribusi, dan ekonomi. Faktor sosial dan budaya juga turut memengaruhi akses terhadap pangan sehat," kata Rinna di IDEAFEST pada sesi diskusi bertajuk “Di Balik Dapur Makan Siang Bergizi: Dari Ladang Hingga ke Piring”, Sabtu (28/9/2024) di JCC Senayan, Jakarta.

Baca Juga

Menurutnya, sekitar 8,53 persen masyarakat Indonesia masih mengonsumsi pangan hanya untuk memenuhi kebutuhan energi, belum mencapai tahap makan sehat dan berkualitas. Pemerintah, kata Rinna, berkomitmen melalui regulasi, seperti Undang-Undang Pangan No. 18 Tahun 2012, yang mengamanatkan penyediaan pangan bergizi seimbang dan aman berbasis potensi sumber daya lokal. Komitmen ini diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal.

“Empat aspek utama harus diperhatikan dalam penguatan pangan lokal yakni penyediaan bahan baku lokal, menu yang beragam dan bergizi seimbang, edukasi, serta pelibatan komunitas dalam ekosistem pangan," ujar Rinna.

Co-Inisiator Nusantara Food Diversity, Ahmad Arif, menyoroti potensi besar pangan lokal yang sering terabaikan. Ia menyebut bahwa banyak daerah yang bergantung pada pangan dari luar yang justru membebani ekonomi lokal.

"Di Pulau Alor, NTT, kami menemukan bahwa setiap keluarga menghabiskan hingga Rp 900 ribu per minggu untuk pangan dari luar daerah, dengan Rp 200 ribu hingga Rp 250 ribu di antaranya dialokasikan untuk beras," kata Ahmad.

Ahmad juga mengkritik fenomena yang disebutnya sebagai "gastro-colonialism", di mana penyeragaman pangan melalui cetak sawah yang dimulai sejak era kolonial masih berlangsung hingga saat ini. Ia berharap visi diversifikasi pangan lokal yang didorong oleh Badan Pangan Nasional dapat diadopsi oleh kementerian lainnya, dengan menekankan pentingnya pangan lokal seperti sagu di Papua sebagai alternatif sumber karbohidrat. Diversifikasi pangan dianggap sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan memperkuat ekonomi lokal melalui pemanfaatan sumber daya pangan setempat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement