REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) menegaskan komitmennya dalam menerapkan prinsip-prinsip Environment, Social, and Governance (ESG) sebagai bagian dari strategi keberlanjutan perusahaan. Dalam pemaparannya di Road to World Public Relations Forum (WPRF) 2024 yang berlangsung di Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya, Jakarta, VP Corporate Communication PT Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menjelaskan pentingnya ESG dan langkah-langkah yang dilakukan Pertamina untuk mewujudkan keberlanjutan energi di Indonesia.
“Isu ESG sangat penting, terutama dalam konteks keberlanjutan atau sustainability. Sebagai salah satu perusahaan energi terbesar di Indonesia, kita harus turut mengkomunikasikan isu ESG ini secara luas,” kata Fadjar dalam acara yang disponsori Pertamina dan Telkomsel tersebut, Selasa (8/10/2024). .
Ia menekankan ESG menjadi salah satu fokus utama dalam menghadapi tantangan energi yang dihadapi Indonesia dan dunia. Fadjar kemudian menjelaskan tantangan yang disebut sebagai "Dilema Energi." Menurutnya, dilema ini merupakan kondisi yang memengaruhi ketahanan energi suatu negara. Dalam hal ini, Indonesia termasuk negara yang beruntung.
"Ketahanan energi atau energy security adalah bagaimana suatu negara mampu menyediakan energi bagi masyarakatnya. Kita bisa lihat bahwa Indonesia berada pada posisi yang cukup baik, dengan skor ketahanan energi sebesar 66,1, di atas rata-rata dunia yang sebesar 58," kata Fadjar.
Faktor ketahanan energi Indonesia teruji saat dunia menghadapi krisis akibat perang Rusia-Ukraina dan ketegangan antara Israel dan Palestina, yang menyebabkan kelangkaan gas di Eropa dan lonjakan harga energi. "Namun, Indonesia tidak mengalami kelangkaan BBM, LPG, atau energi lainnya berkat upaya yang telah dilakukan," tambahnya.
Selain ketahanan energi, Pertamina juga berfokus pada aspek kesetaraan energi atau energy equity, yang berkaitan dengan keterjangkauan harga energi bagi masyarakat. Fadjar menyebut bahwa pemerintah masih memberikan subsidi untuk bahan bakar seperti Pertalite dan Solar, yang membuat harga BBM di Indonesia relatif lebih terjangkau dibandingkan negara lain.
“Dengan GDP per kapita sekitar 4.942 dolar, harga BBM kita di kisaran Rp 10.000 hingga Rp 14.000. Sementara di negara-negara seperti Australia, yang GDP per kapitanya 10 kali lebih besar, harga BBM bisa mencapai Rp 20.000,” jelas Fadjar.
Keterjangkauan harga BBM ini juga dipengaruhi oleh daya beli masyarakat, yang masih relatif rendah di negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, subsidi pemerintah sangat membantu agar masyarakat tetap dapat menjangkau harga energi. “Skor Indonesia dalam aspek ini sebesar 51,9, di bawah rata-rata dunia yang 75, tetapi masih tergolong baik mengingat kondisi daya beli masyarakat,” tambahnya.
Lebih lanjut, Fadjar mengaitkan aspek ketahanan dan kesetaraan energi dengan keberlanjutan atau sustainability. Ia menjelaskan bahwa Pertamina telah menetapkan 10 fokus keberlanjutan yang menjadi bagian dari upaya perusahaan untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) global. “Salah satu fokus kami adalah addressing climate change atau penanganan perubahan iklim, sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060,” ujar Fadjar.
Pertamina juga melakukan berbagai program dekarbonisasi guna mengurangi dampak lingkungan dari operasinya, termasuk langkah-langkah untuk membeli carbon credit melalui Pertamina Renewable Energy. “Kami juga mendorong event-event seperti yang diadakan oleh mahasiswa dan kampus untuk melakukan carbon offset, sehingga kegiatan tersebut bisa diklaim sebagai zero emission dengan membeli carbon credit dari kami,” jelas Fadjar.
Selain itu, upaya pelestarian keanekaragaman hayati atau protecting biodiversity menjadi salah satu prioritas Pertamina, terutama di sekitar lokasi-lokasi operasi yang mayoritas berada di daerah pedesaan. “Di daerah-daerah ini, masih banyak flora dan fauna yang harus kita jaga dan lestarikan,” tutup Fadjar.
Dengan berbagai langkah konkret yang telah diambil, Pertamina optimistis bahwa skor keberlanjutan energi Indonesia yang saat ini berada di angka 63,7, mendekati rata-rata dunia sebesar 66, akan terus meningkat di masa mendatang.