Kamis 10 Oct 2024 18:30 WIB

Bumi Dekati Titik Kritis, Populasi Satwa Liar Menurun Drastis

Penurunan paling drastis terjadi pada ekosistem air tawar.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Sekelompok kera hitam Sulawesi (Macaca tonkeana) liar mencari makanan di kawasan Cagar Alam Pangi Binangga Pegunungan Kebun Kopi, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Senin (20/11/2023).
Foto: Antara/Mohamad Hamzah
Sekelompok kera hitam Sulawesi (Macaca tonkeana) liar mencari makanan di kawasan Cagar Alam Pangi Binangga Pegunungan Kebun Kopi, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Senin (20/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, GLAND -- Dalam laporan Living Planet Report (LPR) 2024, organisasi konservasi WWF mengatakan hanya dalam kurun waktu 50 tahun atau pada 1970-2020, populasi satwa liar menurun drastis sebanyak 73 persen. Laporan ini mensinyalir bumi mendekati titik kritis yang berbahaya dan dapat menimbulkan ancaman besar bagi umat manusia.

WWF mengatakan diperlukan upaya kolektif yang sangat besar yang diperlukan selama lima tahun ke depan untuk mengatasi krisis iklim dan alam. Living Planet Index (LPI) yang disusun ZSL (Zoological Society of London) mencakup hampir 35.000 tren populasi 5.495 spesies dari tahun 1970-2020.

Dalam pernyataannya, WWF mengatakan penurunan paling drastis terjadi pada ekosistem air tawar yang turun 85 persen diikuti ekosistem darat 69 persen dan kemudian ekosistem laut 56 persen. WWF menjelaskan penyempitan habitat dan penyusutan ekosistem, dipengaruhi karena sistem pangan yang tidak berkelanjutan.

Pemanfaatan secara berlebih, spesies dan penyakit invasif juga berperan dalam penurunan populasi satwa liar. Perubahan iklim menjadi sebuah ancaman tambahan khusus bagi populasi satwa liar di Amerika Latin dan Karibia, yang telah mencatat penurunan rata-rata sebesar 95 persen.

Penurunan populasi satwa liar dapat menjadi indikator peringatan dini akan meningkatnya risiko kepunahan dan potensi hilangnya ekosistem yang sehat. WWF menjelaskan ketika ekosistem rusak, maka tidak lagi memberikan manfaat bagi manusia yang selama ini mengandalkan udara bersih, air, dan tanah yang sehat untuk makanan dan ekosistem menjadi lebih rentan terhadap titik kritis.

"Titik kritis adalah ketika suatu ekosistem terdorong melampaui ambang batas kritis yang mengakibatkan perubahan substansial dan berpotensi tidak dapat dipulihkan," kata WWF dalam pernyataannya, Kamis (10/10/2024).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement