REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim membawa dampak signifikan terhadap mobilitas manusia, dengan peristiwa cuaca ekstrem seperti badai, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan yang kian meningkat dalam frekuensi dan intensitasnya. Kepala Misi International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Jeffrey Labovitz, menegaskan situasi ini memperburuk tekanan migrasi dan menambah tantangan kemanusiaan baru.
Menurut data informasi bencana di Indonesia per 8 Oktober 2024, rata-rata terjadi 4,5 bencana setiap hari. Hingga saat ini, tercatat 1.270 peristiwa bencana yang telah memengaruhi lebih dari 3,5 juta orang dan menyebabkan sekitar 250.000 orang harus mengungsi.
"Mungkin angka ini masih tergolong rendah, namun yang mengejutkan adalah bahwa 90 persen dari bencana ini terkait dengan cuaca dan iklim, termasuk banjir, kekeringan, peristiwa cuaca ekstrem, dan kebakaran hutan," katanya di peluncuran inisiatif Indeks Risiko Perpindahan Akibat Iklim (RICD) di Jakarta, Rabu (16/10/2024).
Indonesia kini menjadi salah satu negara yang paling rentan terhadap bencana terkait iklim. Sebanyak 12,6 juta orang di Asia menjadi pengungsi pada tahun 2023, dengan 41 persen berasal dari kawasan ini. Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan pengungsian terbesar akibat peristiwa iklim.
"Kerentanan ini terus meningkat, dan dampaknya akan semakin dirasakan oleh masyarakat Indonesia, terutama di daerah yang paling terdampak seperti Sumatra Timur yang dilanda kekeringan berkepanjangan," tambah Labovitz.
Kisah-kisah tentang migrasi paksa akibat perubahan iklim tidak hanya datang dari negara lain, seperti Denmark yang masyarakat pesisirnya harus meninggikan rumah untuk menghindari kenaikan permukaan laut, tetapi juga dari dalam negeri. Di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Sumatra Timur, masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan air bersih akibat kekeringan yang semakin parah.
Oleh karena itu, Labovitz menekankan pentingnya kerja sama berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, akademisi, organisasi internasional, hingga masyarakat sipil, untuk menghadapi tantangan pengungsian akibat perubahan iklim ini. “Kita tidak lagi memiliki pilihan selain bertindak cepat dan tegas,” ujarnya.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, IOM mengembangkan Indeks Risiko Pengungsian Akibat Iklim (RICD), model prediksi yang dirancang untuk mengukur risiko pengungsian di masa depan di Indonesia. RICD akan menggunakan berbagai sumber data yang sebagian besar berasal dari pemerintah Indonesia, termasuk pemetaan bahaya, pemodelan iklim, kepadatan penduduk, dan indikator sosial ekonomi.
Dengan menggabungkan data tersebut, model ini akan memberikan analisis mendalam untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi dengan risiko pengungsian akibat iklim yang tinggi. Labovitz menjelaskan hasil dari RICD ini diharapkan dapat membantu pengambilan keputusan yang lebih terinformasi dan berbasis bukti dalam hal kesiapsiagaan bencana, peningkatan ketahanan, serta pencegahan pengungsian.
Selain itu, wawasan dari model tersebut juga akan membantu memandu prioritas alokasi sumber daya yang terbatas agar dapat digunakan secara efektif dan efisien. “Pekerjaan ini akan memberi dampak nyata dalam penanganan pengungsian akibat perubahan iklim di Indonesia,” jelasnya.
Labovitz juga menyampaikan apresiasi kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Sipil dan Operasi Bantuan Kemanusiaan Eropa (ECHO) atas dukungan pendanaannya terhadap inisiatif ini. Dia juga berterima kasih kepada BNPB, BRIN, dan Universitas Indonesia atas kolaborasi aktif mereka dalam menangani mobilitas yang dipicu oleh perubahan iklim.
Labovitz mengakhiri pidatonya dengan menyambut semua peserta yang hadir dalam acara tersebut, seraya menekankan bahwa kerja sama global sangat penting dalam menghadapi krisis iklim ini.
"Dengan tindakan yang tepat dan kolaboratif, kita dapat memitigasi dampak dari perubahan iklim dan melindungi mereka yang paling rentan," katanya.