Jumat 18 Oct 2024 10:33 WIB

Pemutihan Terumbu Karang Meluas, Kehidupan Laut Terancam

Hal ini disebabkan perubahan iklim yang menaikkan suhu laut.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Pegiat konservasi mengamati kondisi terumbu karang di perairan Friwen, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Jumat (7/6/2024).
Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Pegiat konservasi mengamati kondisi terumbu karang di perairan Friwen, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Jumat (7/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Berdasarkan data satelit lembaga pemantau laut dan atmosfer Amerika Serikat (NOAA), kerusakan terumbu karang semakin memburuk. NOAA mengatakan sejak Februari 2023 bleaching atau pemutihan karang semakin meluas.

Data menunjukkan 77 persen terumbu karang mulai dari Atlantik sampai Pasifik hingga Samudera Hindia mengalami tekanan panas ke tingkat pemutihan. Hal ini disebabkan perubahan iklim yang menaikkan suhu laut di seluruh dunia.

"Peristiwa ini terus meningkat secara parsial dan kami melihat rekor sebelumnya terpecahkan dengan kenaikan lebih dari 11 persen dalam rentang waktu setengahnya," kata koordinator terumbung karang NOAA Derek Manzello, Kamis (18/10/2024).

Pada April 2024, otoritas terumbu karang NOAA mendeklarasikan peristiwa pemutihan karang global keempat sejak 1998. Rekor sebelumnya dari 2014 sampai 2017 pemutihan massal hanya berdampak pada kurang dari 66 persen karang di seluruh dunia.

Dengan semakin panasnya laut, karang melepaskan alga warna-warni yang tinggal di jaringannya. Tanpa alga, karang menjadi pucat dan rentan kelaparan dan penyakit. Karang yang memutih tidak berarti mati, tapi untuk memulihkannya suhu laut harus turun.

Setidaknya 14 persen karang yang tersisa di seluruh dunia mati di dua pemutihan massal sebelumnya. Pemutihan massal ini sudah berdampak pada 74 negara dan wilayah. Sejauh ini NOAA belum menyebutnya sebagai peristiwa pemutihan massal "terburuk" dalam catatan.

Dalam beberapa bulan dan tahun ke depan, para ilmuwan akan melakukan penelitian pada karang-karang yang mati untuk mengetahui seberapa besar kerusakan yang diakibatkan kenaikan suhu laut.

"Dalam hal dampak tampaknya akan memecahkan rekor, kami tidak pernah melihat pemutihan massal sebesar ini sebelumnya," kata Manzello.  

Dalam enam pekan terakhir, pemutihan karang dikonfirmasi terjadi Palau, Guam dan Israel. Suhu laut yang mengakibatkan tekanan panas pada karang juga masih tinggi di Karibia dan Laut Cina Selatan.

Dalam merespon pemutihan karang, para ilmuwan menyerukan sesi khusus terumbu karang di Pertemuan Keanekaragaman Hayati PBB (COP16) di Kolombia yang digelar akhir bulan ini. Di pertemuan ini pemimpin dunia akan membahas strategi untuk mencegah  kepunahan fungsional terumbu karang, termasuk perlindungan dan pembiayaan lebih lanjut.

“Pertemuan ini akan menyatukan komunitas pendanaan global untuk mengatakan kita masih dalam peristiwa pemutihan keempat, ini terjadi secara berurutan Apa yang akan kita lakukan tentang hal ini?” kata ketua program konservasi terumbu karang global Wildlife Conservation Society Emily Darling.

Sebelumnya, ilmuwan memproyeksikan kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius dari masa pra-industri akan menghilangkan 90 persen karang di seluruh dunia. Rekor pemutihan terbaru menambah bukti karang sudah melewati titik tidak bisa dipulihkan kembali jika suhu bumi lebih panas 1,3 derajat Celsius dari masa pra-industri.

Hal ini akan menimbulkan dampak yang sangat besar pada kesehatan luat, perikanan dan pariwisata. Pada tahun 2020, Global Coral Reef Monitoring Network memperkirakan setiap tahun karang menghasilkan 2,7 triliun dolar AS dari sektor barang dan jasa.

Pemutihan juga diperburuk fenomena cuaca alami El Nino yang menghangat sejumlah laut di dunia. Beberapa peramal cuaca memprediksi beberapa bulan ke depan dunia beralih ke pola iklim La Nina yang biasanya mendinginkan suhu lautan.

Para ilmuwan berharap La Nina dapat memberikan kesempatan bagi karang untuk pulih. Namun ada kekhawatiran bahkan dengan La Nina, hal itu mungkin tidak akan terjadi, sebab tahun 2024 akan menjadi tahun terpanas di dunia yang pernah  tercatat.

"Jika suhu laut saat ini menjadi normal baru, dunia mungkin memasuki periode di mana kita kurang lebih berada dalam kondisi pemutihan global kronis,” kata Manzello.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement